Sungai Masuppu' merupakan titik pertengahan dalam perjalanan menuju Kecamatan Simbuang. Jembatan satu-satunya yang membentang di atas sungai sepanjang kurang lebih 50-60 meter sekaligus menjadi titik perhentian bagi mereka yang melintas.Â
Seperti yang sudah saya tuliskan pada artikel sebelumnya, di ujung jembatan Masuppu' saya melihat seorang pemuda berambut gondrong sedang memandang ke arah selatan sungai. Suasana mulai gelap sedikit menyamarkan wajah pria tersebut.Â
Saya tak sempat memberhentikan motor dan menyapanya. Klakson motor saya bunyikan dua kali sebagai kode. Ia sedikit menoleh dengan senyum misterius. Pikiran saya langsung tertuju pada kendaraan yang kemungkinan ada di sekitar jembatan terparkir. Tidak ada satupun. Hingga radius 100 meter dari sungai, tak ada satupun kendaraan. Lalu, siapakah pria tersebut?
Pikiran aneh saya buang jauh-jauh. Mungkin saja pengendara motor yang berpapasan dengan saya sebelum jembatan Masuppu' adalah rekannya. Entahlah... Intinya pikiran mistis mesti saya singkirkan.Â
Kembali ke perjalanan saya di tengah hujan rintik-rintik. Jalan dengan kontur tanah kombinasi bebatuan dan bekas rabat beton yang didiminasi oleh bebatuan. Jalur kampung Sa'dan hanya landai setelah sungai Masuppu'. Satu tanjakan tanah dan berbatu langsung menyambut. Siraman hujan lebat sedikit membantu akses jalan "nyaman" dilewati. Oleh karena hujan lebat, bebatuan lebih mendominasi jalan. Kedua kaki lebih banyak saya turunkan untuk membantu keseimbangan.
Sebuah mobil 4x4 Strada warna putih melaju pelan dari arah depan. Meliuk-liuk menembus kubangan lumpur dan mencari celah di antara sisa rabat beton. Kami saling berbalas klakson. Dampak dari lewatnya mobil ini, membuat jalur mulai becek dan licin. Kubangan lumpur berair sering saya temui. Jalan tanah yang dulunya mulus seperti aspal, mulai mengeluarkan peringatan. Ban trail bagian belakang sepertinya tak terlalu cocok dengan kondisi jalan, khususnya pada jalan lurus. Motor meliuk menerabas jalan berlumpur.Â
Di jalur kampung Sa'dan ini, saya selalu mewanti-wanti satu tanjakan menikung berupa tanah, bebatuan dan ujungnya bekas rabat beton yang curam. Panjang tanjakan ini lebih dari 100 meter. Pada perjalanan sebelumnya saya sudah dua kali terjatuh di tanjakan ini. Bekas luka di tangan karena tersengat rumput atau serangga misterius masih membekas di tangan kanan saya. Jalur ban motor ada di sebelah kanan. Bagian tengah jalan lebih menyerupai sungai kecil dan parit.Â
Benar saja, meskipun saya sudah sangat konsentrasi mendaki tanjakan tersebut, sekitar 30 meter menjelang puncak tanjakan, motor slip. Kaki yang tak mampu menjangkau pijakan mengakibatkan motor terjatuh ke sebalah kanan. Tubuh saya tertindih motor di tanjakan. Istilah motor trail ahlinya di jalan berbatu, berlumpur dan tanjakan akhirnya " jatuh bermartabat" berlaku bagi saya.Â
Nafas berat dan tersengal. Cukup rumit membuat motor berdiri kembali di tanjakan. Mau minta tolong, tak ada tanda-tanda orang melintas. Kawasan jalur ini hanya bukit batu, sabana dan sesekali dihiasi tumbuhan jati. Langit cerah sisa petang sedikit menghibur saya. 15 menit saya berusaha untuk tenang dan akhrinya motor bisa berdiri. Persoalan baru muncul, mesin motor enggan berbunyi lagi. Mungkin karena ketika terjatuh mesin hidup dan gigi 1 motor aktif.Â
Kondisi badan basah sangat terasa. Dua teguk air kembali masuk kerongkongan. Pikiran aneh sempat muncul lagi. Tempat ini adalah langganan orang terjatuh, meskipun warga lokal sekalipun.Â
Hari makin gelap ketika saya melanjutkan perjalanan. Namun, ada sedikit hiburan tambahan. Ada titik cahaya bulan di langit. Artinya perjalanan saya tak akan gelap gulita selama tidak tertutup awan.Â
Memasuki kampung Leppan, sayup-sayup terlihat lampu sorot mobil. Saya berhenti mengatur posisi. Bagian kanan jalan langsung menatap jurang. Bagian kiri langsung beririsan dengan perbukitan berbatu. Dua mobil pick up yang tak lain para pedagang peralatan rumah tangga keliling muncul di depan saya. Mereka mau kembali ke kota Makale. Tak sempat saya tanyakan apakah mereka kembali dari pasar Lekke' atau balik arah karena jalan rusak. Saya peringatkan bahwa ada longsor di tanjakan Talayo. Pengendara adalah warga Makassar, kentara dari logat mereka.Â
Lewatnya kedua mobil ini makin menambah becek jalan. Bebatuan besar sesekali saya temui ada di tengan jalan. Ban motor terhempas karena bebatuan beradu dengan jalan tak rata. Rerumputan yang tebal turut menambah bash celana dan pakaian.Â
Tanjakan kedua di kampung Leppan segera menghadang saya. Inilah tanjakan yang paling alamiah, puluhan bebatuan besar berwarna gelap di puncaknya tertanam secara alamiah, butuh mesin untuk memecahkannya. Di tanjakan ini saya terjatuh pertama kalinya waktu perjalanan perdana ke Simbuang pada bulan September tahun lalu. Hanya saja, saya terjatuh saat itu bukan karena mendaki, tetapi waktu menuruni jalur ini.Â
Motor saya lajukan dengan sangat hati-hati. Di tikungan pertama tanjakan, sebuah mobil pick up penuh barang berupa lemari terparkir di tengah jalan yang sempit. Memanfaatkan tempat yang kosong, saya memajukan motor. Tak ada sopir, sementara kaca sopir terbuka. Ketika gas sementara saya tarik, di balik tikungan yang menanjak, berlumpur dan berbatu, terdengar teriakan keras, "Berhenti."Â
Kaki pendek saya menyulitkan untuk berpijak di tanjakan. Sebelah kiri sangat dalam,bekas ban mobil, penuh bebatuan bercampur tanah lembek. Rem depan saya tarik sambil turun dari motor. Sebuah mobil pibk up tak kuat mendaki bebatuan hitam di tanjakan. Bebatuan besar segera dipasang kernet untuk mengganjal.
Dua orang kernet pick up membantu saya memindahkan motor ke sisi bukit bagian kiri dengan cara diangkat. Hal ini dilakukan agar mobil bisa mundur perlahan ke bawah sejauh kira-kira 70 meter ke sisi tikungan yang agak landai. Motor diletakkan pada sebuah batu besar, mobil mundur perlahan. Dengan bantuan kernet, saya berhasil menaikkan motor ke tempat yang rata. Saat itu sudah pukul tujuh malam lewat.Â
Hampir setengah jam saya berhenti di tanjakan Leppan. Saya turut membantu mengarahkan mobil pick up. Sopir dan kernet mengumpulkan bebatuan sebagai tempat berpijak ban mobil. Agak susah memang bagi mobil non 4x4 melaju. Aksi nekat para sopir pantas diacungi jempol.Â
"Bapak-bapak sudah berbuka puasa, "
"Kami memang tak puasa pak, menyesuaikan dengan kondisi."
Di sela-sela menunggu dalam kegelapan, muncul dua pengendara motor trail. Ternyata mereka adalah guru-guru dari SMA Kristen Miallo. Mereka akan kembali ke kota Makale. Satu orang adalah kepala sekolah di sana. Dan istimewanya lagi, saya bertemu ibu guru yang dibonceng pak kepsek yang mana ia adalah siswa saya dulu.Â
Miallo adalah nama kampung di Kecamatan Mappak. Ini adalah lokasi yang belum pernah saya kunjungi. Masih sekitar satu jam perjalanan dari Puangbembe untuk sampai ke sana. Pak kepsek yang belum sempat saya tanyakan namanya tetapi sudah mengenal saya, meminta untuk diberikan pembekalan seputar kurikulum merdeka dan pendidikan guru penggerak. Saya menyanggupinya dan mengajak pak kepsek menjadwalkannya seusai ujian sekolah dan lebaran. Mungkin ini akan menjadi kesempatan saya untuk berkunjung pertama kali ke Kecamatan Mappak yang juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Mamasa.Â
Kata pak kepsek, mereka lama bergelut dengan jalan di sekitar Puangbembe. Di sana berlumpur dan menyerupai kubangan. Kami berbincang sekitar 10 menit hingga akhirnya jalan bisa dilewati oleh pengendara motor setelah mobil pick up berusaha menepi di tanjakan.Â
Saya pamit ke pengemudi pick up meskipun mobil mereka masih terjebak di tanjakan Leppan. Target saya, bisa tiba di Puangbembe dengan selamat. Masih ada satu tanjakan lagi di kampung Petarian yang wajib saya taklukkan dengan hati-hati.Â
Sekitar 300 meter berlalu, raungan motor trail terhenti oleh pagar pembatas ternak liar. Sulu' ini sedikit ada di tanjakan dan menikung. Ya, kaki pendek saya lagi-lagi teruji. Saya sedikit terbantu oleh jalan yang sudah dirawat beton.Â
Sepertinya ini sulu' terbaru. Belum terpasang dua minggu lalu. Saya harus membukanya sendiri karena tak ada lintasan motor di samping sulu'. Buka dan tutup sulu' wajib dilakukan agar ternak liar tak merusak tanaman warga sekitar.
Waktu terus berjalan, kubangan berlumpur berkali-kali membuat motor berenang. Cipratan air dan lumpur sudah terasa menembus sepatu boot. Tambahan sepertinya ada semut menggigit betis kiri saya. Saya cuma berusaha memencet betis yang perih agar semutnya mati.Â
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H