Sawah adalah media tanam padi sebagai sumber utama kebutuhan karbohidrat. Pada umumnya sawah lebih mendominasi wilayah dataran rendah dan dekat dengan pantai. Namun, senenarnya sawah hampir ada di seluruh wilayah Indonesia. Menjangkau hingga lereng pegunungan. Di sinilah kreatifitas warga pelosok mempertahankan hidup dengan menggarap sawah tradisional tadah hujan.
Dalam perjalanan menuju Kecamatan Simbuang, Tana Toraja, saya tak pernah luput dari mengamati dan menyaksikan kehidupan warga lokal di sana. Kali ini pandangan mata tertuju pada aktifitas warga Simbuang yang mulai menggarap sawah setelah sekian bulan lamanya sawah tadah hujan mereka "tertidur."
Ada hal menarik yang melatarbelakangi sehingga warga Simbuang hanya menggarap sawah di waktu tertentu. Berdasarkan pengamatan pada sisi pengaruh kehidupan warga Simbuang, waktu turun ke sawah masih dipengaruhi oleh masih terpeliharanya tradisi leluhur.Â
Salah satu contoh tradisi ini adalah pantang bagi warga Simbuang menggarap sawah ketika masih ada jenazah di atas rumah yang belum diupacarakan. Terkait dengan hal ini, maka orang yang bertugas menjaga jenazah dilarang menyentuh apapun yang berkaitan dengan sawah, misalnya menyentuh bulir padi.
Hal lain yang berpengaruh terhadap penggarapan sawah adalah keberadaan ternak liar seperti kerbau, kuda dan sapi. Keberhasilan padi turut ditentukan oleh pergerakan dari ternak liar ini. Budidaya ternak liar di Kecamatan Simbuang adalah kearifan lokal sekaligus tantangan pertanian.
Dengan demikian ada hubungan langsung antara kebijakan lokal penertiban ternak liar dengan penggarapan sawah. Salah satu ciri amannya persawahan adalah bertambahnya pagar pembatas jalan raya, pekarangan dan pinggir jalan yang disebut sulu'. Pagar yang terbuat dari bambu dan kayu seadanya inilah yang menandai dan menghambat laju perjalanan ternak liar agar tidak merusak lahan pertanian.
Singkatnya, kearifan lokal masih kental memengaruhi pola bercocok tanam di Kecamatan Simbuang. Waktu turun sawah masih diatur dan ditentukan lewat musyawarah adat. Sebelum turun sawah pun terlebih dulu diawali dengan upacara adat kepercayaan alukta.Â
Memasuki bulan Maret ini, perjalanan saya di beberapa kilometer menyusuri Kecamatan Simbuang yang ada di lereng pegunungan, disuguhkan dengan pemandangan mulainya warga menggarap sawah. Deretan sawah tadah hujan yang tersusun rapi mengikuti leluk-lekuk perbukitan mulai dibersihkan dari rerumputan. Fokus perhatian saya dalam perjalanan kali ini adalah proses penggarapan sawah dan penanaman padi di sekitar jalur perjalanan yang ada di Lembang (desa) Makkodo dan Kelurahan Sima.
Warna tanah kuning pucat dan coklat kehitaman menghiasi tanggul-tanggul sawah tadah hujan di Simbuang. Warga turun saling membantu dalam menggarap sawah. Mulai dari pembersih sawah, penyiapan  lahan tanam, penyemaian bibit, pencabutan bibit hingga proses tanam padi, semuanya dilakukan secara gotong-royong. Sehingga tidak mengherankan, di sejumlah tempat yang saya lewati, selalu ada kelompok warga yang ramai-ramai menanam padi.
Pola penggarapan  sawah masih dikelola secara tradisional. Membajak dengan bantuan kerbau mungkin masih ada warga Simbuang yang melakukannya. Akan tetapi melihat ukuran petak sawah yang ada, maka proses mencangkul secara manual yang lebih mendominasi.Â
Tak ada mesin traktor yang membajak sawah. Traktor tak bisa dioperasikan pada lahan sawah di Simbuang yang lebarnya mulai dari 30 cm hingga 4 meter. Kalaupun ada yang lebar ukurannya, hanya beberapa petak saja. Biasanya petak sawah yang ada di posisi paling bawah yang agak lebar.Â
Sangat jarang ditemui sawah dengan ukuran yang luas. Pemandangan sawah yang bisa diolah dengan traktor hanya ada di kampung Sa'dan, Lembang (desa) Makkodo yang lokasinya tepat di pinggir sungai Masuppu'. Selebihnya sawah dengan lebar sempit dan memanjang mengikuti lereng perbukitan.
Kunci dari masih terpeliharanya sawah tadah hujan di seantero Kecamatan Simbuang adalah masih terpeliharanya kearifan lokal mereka. Mungkin pola dan caranya terlihat unik dan agak ribet bagi masyarakat umum, tetapi sekali lagi ini adalah kekayaan bangsa Indonesia yang wajib dijaga dan dilestarikan.
Jika kurikulum pendidikan saat ini mengenal kolaborasi, maka sebenarnya warga Kecamatan Simbuang telah mempraktekkan kolaborasi ini dalam sistem kehidupan mereka yang unik dan kompleks dan sejatinya adalah praktek baik dari Appreciative Inquiry (AI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H