Setiap hari, dua kali proses penyadapan dan pengumpulan tuak dilakukan. Pagi-pagi sekali para penyadap sudah mengunjungi pohon aren. Air sarapan yang ditampung dalam ruas bambu petung berasal dari "bure induk" pilihan.
Kegiatan yang sama akan dilakukan sore hari. Pukul 5 sore, hujan atau tidak, "mangrambi tuak" wajib dilakukan. Jika air tuak yang terkumpul tidak diambil, dan tangkai yang mengeluarkan air tuak tidak diiris lapisan luarnya, maka kemungkinan besar beberapa hari kemudian,pohon aren tidak akan menghasilkan tuak lagi.Â
Satu pantangan orang Toraja dalam menyadap tuak adalah tidak boleh mandi atau menggunakan pengharum ketika pergi "massari tuak." Aroma wangi seperti parfum, minyak rambut dan sejenisnya dipercaya akan menghilangkan air tuak. Inilah alasannya, setiap "pangrambi tuak" biasanya berpakaian kotor, lusuh atau baru pulang dari kebun, selesai memberi makan kerbau, baru menuju ke pohon aren.Â
Pantangan berikutnya adalah tidak boleh ada yang menadahkan tangannya di bawah pohon aren ketika tangkai yang mengeluarkan air tuak sementara diiris. Biasanya tetesan air tuak akan berjatuhan saat diiris. Sudah beberapa kali kejadian, aren tidak menghasilkan tiak lagi karena ada yang menadahkan tangannya untuk mencicipi tetesan tuak yang jatuh. Ini pernah terjadi di samping rumah empat tahun yang lalu. Pohon arennya sudah menghasilkan 6 liter tuak setiap pagi dan 4 liter setiap sore. Suatu hari ketika tetangga sedang "mangrambi tuak" ada temannya yang menadahkan tangannya. Esok harinya, tuak mulai memgering dan hingga kini tak menghasilkan tuak lagi. Entah mitos atau tidak, tapi terbukti.Â
Dalam kaitannya dengan pantangan tersebut, "bure" selalu mendapat perlakuan istimewa. Salah perlakuan akan mengakibatkan air tuak hilang. "Bure" adalah tangkai buah aren yang menghasilkan  air tuak. "Induk" adalah sebutan aren dalam bahasa Toraja.Â
Ciri khas utama penyadapan aren di Toraja adalah penggunaan wadah dari ruas bambu petung. Ruas bambu ini tidak asal dipasang. Ada prosesnya juga. Bambu yang digunakan adalah yang berusia tua, tidak cacat, panjang dan diameternya maksimal. Sebelum digunakan, ruas bambu terlebih dulu dibakar di atas api. Fungsinya adalah untuk membuat bambu awet. Selain itu, akan memberikan efek cita rasa pada air tuak yang tertampung. Kulit luar bambu dikeluarkan. Bambu inilah yang dinamai "timbo".
Air tuak yang terkumpul dalam "timbo" kemudian dikumpulkan ke dalam jergen ukuran 5, 10 dan 20 liter. Hasil sadapan aren biasanya dikonsumsi setiap hari, secara khusus untuk hasil tuak yang tidak mencapai 5 liter. Warga yang menjadikan tuak sebagai konsumsi harian biasanya akan terkumpul beberapa orang tetangga atau kerabat di emper rumah, kolong rumah atau halaman untuk menikmati tuak bersama. Tidak ada hitung-hitungan bahwa tuak yang diminum akan dibayar. Murni dinikmati bersama. Alasannya adalah karena bagian dari hobby.Â
Jika hasil tuak mulai melimpah, biasanya di atas 5 liter, maka tuak mulai dijual. Harga 5 liter tuak saat ini antara Rp 30.000 - Rp 50.000. Harga tuak melambung hingga 100% di bulan Desember.Â
Setiap hari warga Toraja menjual tuak dalam jergen yang digantung di kolong rumah atau di depan kios/rumah. Pemandangan jergen berwarna putih bergelantungan di kios dan di kolong rumah akan banyak dijumpai saat memasuki wilayah Toraja.Â
Selain itu, ada penyadap tuak yang menjualnya ke penadah. Ratusan tuak yang terkumpul kemudian dijual ke kota kabupaten dan lintas kecamatan. Sudah banyak warga Toraja yang menyalurkan hobby menyadap tuak, pada akhirnya sukses menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi.Â