Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mengurai Masa Keemasan Cengkeh yang Pernah Terpuruk dan Kini Mulai Bangkit Kembali

9 Januari 2024   16:58 Diperbarui: 10 Januari 2024   01:19 2038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu yang masih populer sistim bagi hasil 4, yakni tiga liter cengkeh untuk pemilik kebun dan satu liter untuk pemetik. Semua pemetik tinggal di tenda atau pondok yang dibuat di kebun. Beras dan lauk ditanggung oleh pemilik kebun cengkeh.

Banyaknya hasil panen cengkeh di tahun 1990-an belum banyak memberikan kesejahteraan kepada warga. Harga cengkeh kering saat itu hanya Rp1.500 per kilogram. Paling mahal Rp3.000 per kilo. Inilah yang menyebabkan banyak tanaman cengkeh yang tak terawat saat itu. 

Sistem bagi hasil dipilih agar banyak warga yang mau datang membantu memetik. Bahkan banyak juga pemilik cengkeh yang pada akhirnya menebang pohon cengkeh mereka dan menggantinya dengan tanaman merica dan vanili yang nilai jualnya lebih menggiurkan. 

Memasuki tahun 1997, harga cengkeh kering sedikit lebih baik, yakni sudah dihargai Rp6.000-Rp7.000 per kilo. Namun, sekali lagi, sebagian besar pemilik cengkeh lebih cenderung mengajak tetangga atau mempercayakan kepada para warga pendatang sebagai buruh petik dengan sistim bagi hasil. 

Tanaman cengkeh mencapai masa puncak kesuburannya menjelang reformasi dan setelah reformasi. Semua pohon cengkeh tua menghasilkan buah. Harga cengkeh pun juga mulai naik. 

Tahun 1999, harga cengkeh kering sudah menyentuh Rp12.000 per kilo. Dan memasuki tahun 2000, harga cengkeh melonjak ke Rp25.000 hingga Rp30.000 per kilo. 

Jumlah pencari kerja sebagai pemetik cengkeh membludak datang di kecamatan Gandangbatu Sillanan. Saya yang saat itu sudah masuk bangku kelas 1 SMA, sudah mempekerjakan dua karyawan pemetik cengkeh. Keduanya berasal dari kampung di perbatasan Mamasa-Toraja. 

Saat itu jumlah pohon cengkeh yang siap panen hanya sekitar 60 pohon. Tapi tingginya pohon cengkeh dan lebatnya buah saat itu, kadang satu pohon cengkeh baru selesai dipetik dalam 3 hari. 

Kata panen raya adalah istilah paling populer di sekitar Gandangbatu, khususnya pada ketujuh desa penghasil cengkeh. Sistem bagi hasil mulai ditinggalkan sejak tahun 2000. Sistem penggajian Rp30.000 per hari menjadi pilihan di mana konsumsi dan rokok ditanggung. Gaji Rp50.000 jika pemetik membawa bekal makanan sendiri.

Hasil petikan buah cengkeh yang dijemur di atas nyiru. (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Hasil petikan buah cengkeh yang dijemur di atas nyiru. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Lalu, pada tahun tahun 2005 hingga 2013, harga cengkeh sudah berada pada puncaknya, yakni Rp55.000 hingga Rp110.000 per kilo. Tetapi mahalnya harga cengkeh juga harus dibayar mahal dengan banyaknya pohon cengkeh yang mati karena serangan hama berupa ulat penggerek batang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun