Pukul 12 malam, kami tiba dirumah kembali. Makan malam Natal baru kami nikmati di rumah. Sedap menunya meskipun sederhana. Nasi dan lauk dibungkus dengan daun pisang. Memang lapisan pembungkus bagian luar menggunakan kerta nasi, tetapi lembaran di dalamnya memakai daun pisang. Penggunaan daun pisang untuk membungkus makanan juga masih dipertahankan warga Batutu. Pemakaian kertas nasi dimaksudkan untuk menambah keamanan makanan agar tak mudah robek ketika dibagikan. Wangi nasi dan lauknya sangat terasa dan mengundang selera makan. Saya menghabiskan dua porsi makanan.
Pukul setengah dua subuh, mata sudah tak sanggup begadang. Meskipun dari berbagai sudut perkampungan, sayup-sayup masih terdengar letusan kembang api dan petasan, akan tetapi capek dan kantuk membuat saya tertidur lelap. Saya terjaga ketika matahari sudah mulai naik dari ufuk timur dan suara ayam di kolong rumah sudah saling bersahutan.
Karena rumah di kampung adalah rumah panggung dari kayu, maka sangat terasa goyangan kecil ketika ada yang berjalan. Saya segera terbangun, berdiri sejenak di emper rumah menikmati suasana pagi dari kampung Batutu. Kabut masih menyelimuti sebagian lokasi sekitar. Ada seseorang yang sudah turun mencangkul di sawah dan  sejumlah sapi yang mengais rerumputan di sekitar sawah tadah hujan di depan rumah. Saya lalu turun ke kolong rumah. Jejak hujan lebat semalam sangat jelas. Jalan kampung yang berbatu, lumpurnya bersih tersapu air.
Lalu, dibalai-balai teronggok sayur pakis segar. Wah....saya yang merupakan pecinta sayur pakis pun langsung tergoda untuk segera menumis sayur pakisnya. Entah dari mana kakek anak-anak mendapatkannya. Tapi saya bisa menebak, dari sekitar kolam ikan. Dukungan lingkungan yang masih terpelihara kealamiannya, daun pakis masih banyak ditemui tumbuh subur di sekitar kampung Batutu. Terlebih terdapat air dari sungai-sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun.Â
Ternyata, masih ada kejutan pagi. Tiba-tiba nampak satu jamur ukuran sedang di samping rumah. Baru saja tumbuh diantara rerumputan. Belum ada semut yang mendekat di sekitar jamur, artinya benar-benar masih fresh. Di sekitarnya pun ada jejak jamur-jamur kecil yang juga bisa dikonsumsi. Orang Gandangbatu biasa menyebutnya ra'tuk. Saya belum mendapatkan bahasa lokal Rano terkait jamur kecil-kecil itu. Sementara jamur dalam bahasa Toraja disebut basi. Mungkin jamurnya masih sempat merayakan Natal semalam.Â
Sempurna menu sarapan pagi itu, sayur pakis dan jamur segar. Cara masaknya sederhana saja. Masak tiga ala mertua. Air secukupnya direbus, ketika air mendidih, daun dan batang muda pakis serta jamur dimasukkan dan direbus beberapa saat. Setelahnya, tinggal ditambah garam tanpa penyedap rasa. Jadilah sayur bening daun pakis dan jamur. Kuahnya segar ditambah aroma khas alami pakis dan jamur. Perpaduan nasi hangat dan sayur pakis membuat selera sarapan pagi layaknya makan siang.Â
Segar. Sangat sulit bertemu menu segar dari alam di kota. Di masa libur Natal ini, saya bertemu menu paling istimewa. Sayur pakis dan jamur segar. Ditambah lingkungan yang masih alami di sekitar kampung Batutu. Segarnya udara masih sangat terasa. Kondisi perkampungan masih minim pencemaran.
Selamat Hari Natal bagi Kompasianer yang merayakannya. Salam Damai.