Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Plus Minus Debat Cawapres

23 Desember 2023   17:08 Diperbarui: 23 Desember 2023   19:56 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menyelesaikan satu tahapan pilpres 2024, yakni debat cawapres pada hari Jumat, 22 Desember 2023, bertempat di Jakarta Convention Center (JCC).

Secara umum debat kedua ini berjalan dengan baik. Tak ada luapan emosi seperti debat pertama yang mempertemukan capres. Beranjak dari kacamata penonton debat lewat televisi seperti saya, terdapat plus dan minus pada debat kedua ini. 

Pada debat cawapres kali ini, KPU menyiapkan mimbar mini untuk setiap debater. Konsep ini bagus karena bisa mengurai ketegangan peserta debat. Di samping itu, membantu cawapres untuk menuliskan sesuatu seiring dibolehkannya peserta debat membawa balpoint dan kertas ke atas panggung debat. Akan tetapi, meja ini juga menjadi media menempatkan catatan bagi cawapres untuk menghafal narasi.

Penggunaan microphone oleh setiap cawapres juga memunculkan pertanyaan. Apa fungsinya? Sementara ketika berbicara, setiap cawapres memakai mic juga. 

Lalu, ketika satu sesi debat berakhir, peserta debat dibolehkan KPU kembali ke tempat duduknya bersama tim sukses. Nah, di sini ada peluang cawapres mengambil bahan untuk debat yang telah disiapkan oleh tim sukses. Apalagi kan KPU membolehkan cawapres membawa kertas ke mimbar. Sehingga kemampuan secara profesional peserta debat tidak mandiri. 

Tiga cawapres, yakni Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud MD, tampil dengan gaya mereka masing-masing. Penilaian gaya tiap cawapres pastinya berbeda-beda pula bagi tiap orang, khususnya tim sukses dan pendukung masing-masing. 

Cawapres nomor urut 2, Gibran memulai debat sesi pertama dengan penyampaian visi dan misinya. Gibran tampil percaya diri. Penyampaian visinya lancar dan tepat waktu. Namun, ada satu hal menarik jika ditinjau dari mimik wajahnya. 

Pandangan putra presiden ini terkesan menatap penonton di depannya dengan tatapan kosong. Gibran tampak menghafal naskah. Hal ini diperkuat pula oleh kerutan dahi dan tanpa senyum. Meskipun sempat beberapa kali menggerakkan tangan sebagai bagian dari bahasa tubuh, namun ia tak bisa menyembunyikan kondisi bahwa ia sedang menyampaikan bahan yang telah disiapkan oleh tim suksesnya. 

Secara umum, visi misi wali kota Solo yang berpasangan dengan capres Prabowo Subianto ini banyak melakukan copy paste pidato ayahnya, yakni presiden Joko Widodo. Uraian singkat kalimat eksposisinya dominan menggunakan kosa kata tinggi. Salah satunya kata hilirisasi. 

Meskipun salah satu tagline pasangan capres cawapres nomor urut 2 adalah melanjutkan program presiden Jokowi, penggunaan kembali ucapan-ucapan Jokowi menandakan minimnya gebrakan baru. Penonton debat disuguhkan Jokowi part II dengan mimik berbeda. 

Selanjutnya, cawapres Mahfud MD menyampaikan visinya dengan membawa latar belakangnya sebagai profesor hukum sebagai bagian dari pidato pembukanya. Tema besar debat adalah perekonomian. Hal ini pun selalu dikaitkan Mahfud dengan hukum. Sehingga sedikit terkesan monoton. Pak Mahfud juga menyinggung oknum tertentu sebagai contoh masalah yang ada di lapangan. Ide ini pun sebenarnya kurang greget untuk menjadi pembangun gagasan yang pure menjadi kebutuhan debat. Terlepas dari isi argumen pak Mahfud, keunggulan beliau adalah mampu merinci jawaban dan rencana pengambilan regulasi yang selalu ia dapatkan dari lawan debat. Jika pertanyaan bebas dan terukur, dengan pengalaman sebagai akademisi, Mahfud mampu menjawab dengan santai dan ide yang dibuat sendiri. Walaupun, kadan menggunakan ungkapan penjara untukk mencari ide. Tapi itu adalah kondisi natural dalam berdebat. 

Giliran terakhir pada sesi pertama adalah cawapres Muhaimin Iskandar. Pasangan capres Anies Baswedan ini langsung mengusung istilah yang diviralkannya ketika bermain sarung dengan Anies. Istilah slepet diusung oleh Cak Imin sebagai bagian penting visinya. Penegakan hukum dan regulasi menggunakan slepet. Kurang pas untuk slepet negara seluas Indonesia. Sisi positif Cak Imin adalah ia sangat percaya diri dalam berargumen, meskipun ia terpojok. 

Sementara, satu titik keunggulan Gibran adalah kemampuannya menggunakan istilah berbahasa Inggris. Bagi kaum milenial, penggunaan istilah asing bisa saja menandakan keunggulan pengetahuan informasi terkini. Namun, ini juga menjadi titik lemah Gibran. Menggunakan istilah asing sebenarnya menjadi kamuflase senjata rahasia untuk mematikan konsep lawan debat. Gibran sukses melakukannya. 

Cawapres Mahfud menjadi korban pertama ketika Gibran mengajukan pertanyaan terkait regulasi meminimalisir kadar karbondioksida. Istilah yang dipakai Gibran adalah Carbon Capture and Storage (CCS). Masyarakat awam pun yang mendengar istilah dari akronim bahasa Inggris ini akan kebingungan. Dari kacamata akademik, Gibran berhasil mengunci lawan. Sayangnya, prof Mahfud mampu merespon dengan diplomatis. Bahkan beliau bertanya balik ke Gibran dengan menyinggung hal yang identik, yakni setiap orang akan mengalami kesulitan ketika diperhadapkan pada sesuatu yang tidak diketahui. 

Jebakan istilah CCS sebenarnya bisa menjadi antitesa pembangunan IKN. Seperti diketahui, lahan IKN mengorbankan ribuan hektar hutan. Penggundulan hutan diganti dengan bangunan mendorong meningkatnya karbondioksida itu sendiri. 

Pun demikian ketika bertanya tentang kebijakan terkait ekonomi syariah kepada Cak Imin. Gibran menggunakan akronim SGIE (State of the Global Islamic Economy). Sontak dan jujur, Cak Imin bertanya balik, karena ketua umum PKB ini tidak paham sama sekali. Barulah ketika Gibran menjelaskan SGIE Cak Imin bisa merespon. Gibran cetak gol ke gawang Mahfud dan Cak Imin. Sekali lagi, Gibran sendiri tidak paham istilah ini. Terdapat rekaman singkat di mana Gibran membaca informasi tentang SGIE. 

SGIE sendiri sebenarnya belum waktunya menjadi prioritas pemerintah Indonesia. Apalagi warga Indonesia hererogen. Tapi, inilah debat. Debaters butih trik mengalahkan lawan dalam berargumen. 

Gibran unggul di penggunaan istilah asing, tapi menjadi blank ketika menyampaikan anggaran terkait pembangunan IKN. Ketika disasar Mahfud tentang nama investor, Gibran justru meminta Mahfud untuk mencari informasinya di Google. Loh... Cawapres kok jawabnya gitu. Di sini, nampak Gibran tak punya data dari tim sukses. 

Pada sesi terakhir, Gibran terlihat sangat lancar menyampaikan pidato penutup tanpa teks. Ini adalah kredit poin yang membawa Gibran dipuji, khususnya di kalangan warganet. 

Namun, setelah beredar video-video pendek kiriman warganet di sesi iklan televisi dan jeda penyampaian closing statement, Gibran tertangkap kamera penonton debat di JCC menerima secarik kertas darintime suksesnya. Kemudian, Gibran meletakkannya di podium dan menghafalkannya. Artinya, closing statement-nya tidak alamiah dan tidak berdasarkan pengetahuan sendiri. 

Pada giliran prof. Mahfud MD, cawapres Ganjar Pranowo ini fokus membaca misi pasangan nomor urut 3. Konteks ini sebenarnya kurang pas, karena seyogyanya prof. Mahfud menyimpulkan isi debat yang telah dijalani dan dikaitkan dengan visinya bersama capres Ganjar. 

Saya pun menyoroti momen ketika mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini berganti pakaian dari busana Madura ke kemeja putih khas nomor urut 3 bertuliskan sat set dan tas tes. Boleh dikata, sesi ganti busana ini adalah strategi Mahfud untuk mengambil tulisan yang dibaca di sesi closing statement. 

Penggunaan slepetnomics pada sesi terakhir debat oleh Cak Imin sebagai tagline penyelesaian masalah ekonomi dan kebijakan lainnya sebenarnya kurang pas untuk debat setingkat cawapres. 

Bagi saya, istilah slepet terkesan kekanak-kanakan. Sekiranya slepet adalah akronim dari sejumlah kata, tentu bisa menjadi istilah viral. Bukan tidak mungkin, timses dan pendukung paslon lain akan menyebutnya sebagai istilah yang justru mengarah ke planga-plongo. Kurang baku sebagai istilah formal untuk pembangunan bangsa. Jika diperuntukkan untuk bahan guyonan semata, ya sah-sah saja. 

Ada istilah baru, ada kemampuan menggunakan istilah yang kurang lazim dan ada kemampuan mengurai argumen sexara akademis menjadi warna debat cawapres kali ini. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun