ISBN adalah kode sakral penerbitan naskah buku. Siapapun yang telah menerbitkan buku dan memiliki ISBN, penulisnya akan memiliki kebanggaan tersendiri. Mengapa? Secara tidak langsung, buku ber-ISBN dapat dikategorikan sebagai buku yang naskahnya dibutuhkan oleh masyarakat luas. Minimal bukunya digunakan sebagai bahan ajar di sekolah atau sebagai penunjang perkuliahan di level akademik dunia kampus.
Saat ini sedang terjadi krisis ISBN di Indonesia. Kok bisa ya? Tanpa menggunakan analisis data, jawabannya bisa langsung ditebak, terlalu banyak naskah buku yang telah diterbitkan di Indonesia yang ber-ISBN.Â
Mari menengok sejenak animo penulisan buku sebelum pandemi Covid-19. Sepi dari penulis. Paling umum yang menulis adalah para penulis naskah buku bahan ajar di sekolah. Kemudian, ada pula penulis buku dari kalangan guru yang membutuhkan angka kredit dari unsur karya pengembangan profesi. Biasanya golongan IV.b ke atas.Â
Guru juga menulis karena kebutuhan lomba. Misalnya, ketika masih ada event guru berprestasi. Salah satu syaratnya adalah guru memiliki karya publikasi buku. Di sini sebenarnya ada kontrol yang minim, yakni terbukanya peluang naskah buku antologi yang diterbitkan. Naskah ini berasal dari tugas-tugas siswa yang kemudian disatukan dan diterbitkan menjadi naskah buku. Penulisnya adalah guru mata pelajaran, tapi naskahnya dari kumpulan tugas siswa.Â
Di dunia akademisi, maka para dosenlah yang konsisten menulis buku untuk kebutuhan KUM kenaikan pangkat akademik. Tak jarang dosen menulis buku-buku pelajaran untuk anak sekolah. Sementara selebihnya adalah penulis fiksi berupa komik dan novel.Â
Nah, memasuki pandemi Covid-19, mulailah marak penulisan naskah buku. Berbekal menjamurnya pelatihan-pelatihan menulis dan menerbitkan buku secara online. Banyak penyelenggara pelatihan jenis ini yang menawarkan harga super murah dengan naskah terbit dan ber-ISBN. Adapula yang memberikan fasilitas penerbitan gratis. Naskah-naskah yang paling umum diterbitkan adalah jenis antologi atau kumpulan puluhan naskah dari puluhan penulis.
Penerbitan naskah antologi bagi penulis pemula inilah yang paling banyak menyerap kuota ISBN di Indonesia sejak awal tahun 2020 hingga akhir tahun 2022. Kebanggaan bagi para penulis pemula adalah terbitnya satu karya dan ber-ISBN.
Di berbahai platform media sosial hampir setiap hari ada event lomba menulis dari berbagai penerbit indie. Syarat lomba adalah menulis naskah tertentu, wajib beli 1 eksemplar buku dan naskahnya ber-ISBN. Lagi dan lagi, naskahnya antologi. Ini juga yang memicu tingginya pemakaian ISBN.
Terkait dengan terjadinya krisis ISBN saat ini, maka demi pemakaian ISBN yang valid, sebaiknya Perpusnas RI selaku pemegang mandat mengeluarkan ISBN di Indonesia menerapkan seleksi ketat untuk naskah yang akan terbit ISBNnya. Untuk naskah antologi puisi, cerpen, pantun, dll, sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan ISBN, apalagi jika konsumennya adalah kalangan sendiri. Jika ingin di-ISBN-kan, maka sebaiknya buku antologinya memenuhi syarat sebagai bahan bacaan di jenjang persekolahan. Konsep yang sama diberlakukan bagi penerbit-penerbit indie yang hanya konsen menerbitkan naskah antologi lomba.
Minimal jenis buku yang diterbitkan ber-ISBN adalah jenis bookchapter dengan maksimal delapan penulis yang memang naskahnya sedang dibutuhkan oleh pembaca atau masyarakat luas. Topik-topik tulisan pun sebaiknya mengedepankan kebutuhan literasi masyarakat.Â
Penulis juga sebaiknya melakukan percobaan untuk menerbitkan buku solo yang diterbitkan oleh penerbit mayor. Dengan terbitnya buku di penerbit mayor seperti penerbit ANDI, Kanisius, Gramedia, Tiga Serangkai, Grafindo, Mizan, Perpusnas Press, dll. maka secara tidak langsung naskah bukunya bisa dipasarkan secara luas. Sebelum naskahnya terbit, maka perlu ada pengecekan keaslian naskah, plagiasi, sumber kutipan yang jelas, kebermanfaatan dan ruang lingkungan penggunaannya. Dengan demikian, naskahnya berdampak bagi khalayak ramai.
Terkait dengan hal tersebut, maka sebagai penulis, perlu mendukung ketersediaan ISBN di negara kita. Mari menuliskan naskah buku yang memang menjadi kebutuhan pembaca. Memang ini menjadi tantangan besar bagi penulis, mengingat tingkat literasi nasional masih sangat rendah. Pembaca buku konvensional yang sejak dulu rendah makin rendah tergantikan oleh naskah buku elektronik. Merespon teknologi digital yang makin digandrungi maka sebaiknya buku ber-ISBNnya diterbitkan secara elektronik.
Jika rekan-rekan penulis pemula yang kesulitan menghasilkan naskah solo, dan lebih cenderung menghasilkan naskah antologi, sebaiknya menerbitkan naskah tanpa ISBN atau menggunakan QRCBN. Penerbitan naskah menggunakan QRCBN ini mulai populer setahun terakhir dipromosikan oleh penerbit-penerbit indie.Â
Selanjutnya, penulis buku sebaiknya bekerja sama dengan penerbit mayor. Maksudnya adalah di penerbit mayor sudah tersedia serangkaian persyaratan yang harus dipenuhi penulis jika naskahnya ingin diterbitkan. Tersedia umpan balik dari penerbit mayor terkait perbaikan naskah. Istimewanya lagi, penerbit mayor bisa menerbitkan naskah buku kita dengan gratis. Ketika dipasarkan oleh penerbit, penulis bisa mendapatkan royalti penjualan buku. Keren kan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H