Tiada bosan saya menulis tentang cerita dan pengalaman selama melalui rute perjalanan ke Kecamatan Simbuang. Ketiga kalinya saya berangkat ke sana, pengalaman baru di jalan akan selalu ada. Pada tulisan sebelumnya, jalan paling ekstrim di ruas Sa'dan sudah mulai diperbaiki dengan adanya beberapa alat berat yang telah melebarkan dan meratakan jalan.
Kali ini, kembali saya membagikan pengalaman perjalanan setelah melewati jembatan sungai Massuppu', khususnya di kampung Sa'dan menuju kampung Leppan dan kampung Petarian.Â
Tiga jalur ini juga masih menyisakan "penderitaan" bagi setiap pelintasnya. Terdapat sejumlah titik menantang di jalur ini. Saya baru menikmati tantangan ini karena cuaca yang cerah saya melewatinya. Sepintas dilihat cukup mudah untuk berlalu, tetapi ketika melintas, justru menguji adrenalin, kesabaran dan emosi.Â
Mamasuki kampung Sa'dan, akan kembali disajikan dengan jalan yang masih ekstrim, meskipun rutenya agak landai di beberapa tempat. Landainya jalur Sa'dan karena mengambil arah bantaran sungai. Oya, Sa'dan sendiri berarti sungai dalam bahasa Toraja.
Kompleks sawah penuh air hanya ada di kampung Sa'dan. Nampak di ujung persawahan ada bangunan rumah warga dengan ciri khas tongkonan.Â
Melewati pos pekerja proyek, jalan langsung berombak dengan patahan bekas rabat beton. Tanjakan sekitar 20 meter berdebu dan berbatu langsung menyambut. Ban motor sesekali terpeleset dan harus dibantu dengan kedua kaki.Â
Ada rumah panggung besar yang akan ditemui di bagian kiri jalan. Ini adalah bengkel pertama sekaligus warung pertama setelah di kampung Sa'dan. Tak ada tetangga di sana. Pemilik rumah menyediakan balai-balai besar untuk beristirahat.Â
Setelah rumah tersebut, akan langsung menghadapi sedikit penuruan ekstrim. Bebatuan besar dan tikungan tajam memberikan tantangannya tersendiri.
Jalan yang kering dan berdebu tetap menyulitkan untuk lewat. Bisa dibayangkan kalau musim hujan. Â Saya berhenti sejenak untuk minum air. Pemandangan indah tersaji di depan saya.Â
Tak lama kemudian muncul seorang pria mengendarai motor Xtrail dan sedang mengendalikan dua anjing ras. Ternyata ada anjing ras Eropa yang tinggal di kampung Sa'dan yang terpencil.Â
Dari pria tersebut saya baru tahu bahwa kampung Sa'dan memiliki panjang sekitar 3 km dari sungai Massuppu'. Adapun kampung Leppan ditandai dengan ciri khas adanya bangunan gereja pertama yang akan dijumpai di jalan nanti. Sementara kampung Petarian masih berjarak sekitar 6 km dari tempat saya istirahat.
Perbincangan sesaat membawa kehangatan baru. Ia bercerita tentang kegiatannya di sawah. Ia juga menunjukkan lokasi rumahnya. Petang menjemput, perjalanan masih jauh. Kami berpamitan satu sama lain.
Setelah saya perhatikan dengan seksama, terdapat 6 titik menantang di jalur Sa'dan menuju Leppan. Tantangan ini identik berupa tanjakan berbatu dan berdebu dengan bekas rabat beton. Ban depan motor yang agak keras dan stang motor yang sudah tak normal membuat motor seringkali agak liar dan sulit dikendalikan di tanjakan berbatu.Â
Ruas jalan antara kampung Sa'dan dan kampung Leppan cenderung minim rumah warga. Sa'dan memiliki ciri khas tanpa sumber listrik seperti turbin. Adapun rumah yang memiliki listrik bersumber dari genset. Gelap mulai menjemput. Suasana jalan sepi, hanya diselingi suara makhluk hutan. Sesekali bersua rumah warga yang sepi dan gelap. Dua kali saya bertemu pagar pembatas ternak liar yang sudah terbuka.
Memasuki kampung Leppan, beberapa rumah panggung kayu berjejer di bagian kanan jalan. Di antara rumah-rumah tersebut terdapat sebuah gereja yang sementara dalam pembangunan. Di sekitar tempat ini, kondisi jalan sudah menuntut konsentrasi. Bergelombang dan berbatu. Roda motor tidak melewati bagian tengah jalan. Tetapi mencari jalur alternatif disisi perbukitan. Jika musim hujan, jalur ini akan seperti sungai dan kubangan lumpur. Panjang jalur kategori ekstrim ini sekitar 100 meter.
Jalur kampung Leppan menuju kampung Petarian sudah didominasi tanjakan curam berbatu dan berdebu. Jalan yang masih kering masih membantu untuk dilewati meskipun kedua kaki sering turun membantu motor untuk tetap stabil menanjak. Pada satu tanjakan setelah melewati sungai kecil tak berair, saya terpaksa melompat dari motor karena oleng.Â
Ada satu spot yang memanjakan mata di bagian kanan jalan. Rasa capek terbayar oleh pemandangan berupa hamparan gunung teletubbies. Sebelum mencapai titik ini, tantangan tanjakan berbatu kembali menyambut. Kedua tangan berkeringat, apalagi sekujur tubuh. Rasa pegal di punggung, jari-jari tangan, pergelangan tangan dan pantat sudah meronta-ronta.Â
Tak ada waktu lama berhenti, hanya semenit menarik nafas. Jalan mulai gelap. Kesunyian menembus jalan berbatu di antara beberap pohon jati. Trek tanjakan kampung Petarian segera menyambut setelah tanjakan-tanjakan berbatu. Mesin motor bebek meraung-raung karena gigi 1 yang dominan di tanjakan.Â
Jalan yang tak jelas karena kegelapan mulai menebal beberapa kali membuat saya oleng. Motor sering keluar jalur. Demi keamanan, saya memilih melintasi bagian tengah jalan yang berbatu dibanding pinggiran yang mulus tapi berhadapan dengan jurang.
Petarian saya lewati dengan lancar meskipun pegal-pegal di kaki dan pantat. Di Petarian ini, balon-balon listrik dari turbin sebenarnya ada tapi tak menyala. Mungkin mesinnya rusak, entahlah. Gelapnya rumah warga menambah kesunyian.Â
Jika dua kali perjalanan saya sebelumnya selalu bertemu kerbau, sapi dan kuda liar di jalan, kali ini rombongan mereka tidak ada.Â
Lembang Makkodo dilalui dengan lancar pula, tak ada halangan berarti selain dingin yang mulai menembus jaket. Akses jalan di pertengahan Makkodo lebih nyaman dilalui karena telah didominasi oleh rabat beton. Meskipun demikian, terdapat empat titik tikungan tajam yang sisa rabat betonnya hanya bisa dilalui ban motor. Hanya mobil truk atau mobil 4x4 dengan suspensi tinggi yang bisa melewatinya. Pengendara motor pun perlu berhati-hati di tikungan-tikungan tajam, rusak dan menanjak tersebut.
Memasuki Kelurahan Sima, suasana gelap gulita menyambut. Sepertinya memang jaringan listrik turbin sedang rusak. Hanya satu dua rumah yang agak terang karena menggunakan  tenaga surya dan menyalakan genset. Lekke', ibu kota Kecamatan Simbuang, pusat perekonomian dan perkantoran juga gelap gulita.Â
Beruntunglah, Lembang Puangbembe Mesakada tujuan saya terelihat terang benderang dari Lekke'. Jarak kurang lebih 9 kilometer dari Lekke' ke Puangbembe bisa ditempuh sejam jika kondisi hujan. Dengan penuh kehati-hatian, ruas jalan Lekke' ke Puangbembe saya lewati di tengah kesunyian kampung. Beberapa kali jalan berubah becek dan berlumpur. Ini berarti mulai hujan di Kecamatan Simbuang.Â
Memasuki Lembang Puangbembe, jalan mulai menantang kembali sejak dari sungai kecil yang berlumpur. Tanjakan dari sungai sudah membuat motor sesekali meraung-raung. Ban giig yang terpasang pada kedua ban sangat menolong. Jalan berbatu adalah pemandangan umum di jalur menanjak menuju Puangbembe. Kondisi jalan makin rusak dibanding sebulan yang lalu.Â
Puji Tuhan, akhirnya saya tiba kembali di UPT SMPN Satap 2 Simbuang untuk ketiga kalinya dengan selamat di kegelapan malam. Calon Guru Penggerak yang akan saya dampingi eseok hari segera berlari membuka pagar sulu' di jalan menuju penginapan yang berupa ruang kelas yang disekat.
Air hagat segera tersaji bersama secangkir kopi pahit. Dingin kali ini tidak sedingin sebulan yang lalu. Kami bercerita pengalaman di jalan di pondok mini pada halaman eks ruang kelas tersebut hingga larut malam. Makan ala kadarnya dan kami tertidur dengan nyenyak tanpa terganggu pikiran-pikiran tentang keanehan yang sering terjadi di bangunan tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H