Keunikan bangsa Indonesia sangat banyak. Suku-suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke memiliki karrakteristik yang menghadirkan keunikan. Dari keunikan inilah yang memberikan kekayaan bagi Indonesia.
Kepercayaan kepada objek, benda dan barang tertentu pun masih terpelihara di hampir seluruh pelosok negeri ini. Penyembahan, pemberian sesaji kerap masih dilaksanakan kelompok suku bangsa dalam sebuah ritual.
Meskipun agama-agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dll sudah tersebar luas sebagai dasar kepercayaan masyarakat, akan tetapi karena masyarakat setempat masih memelihara dan menjunjung tinggi adat istiadatnya maka kepercayaan kepada hal-hal yang dianggap masih berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dari masa nenek moyang, tetap dijalankan.
Kali ini saya kembali menuliskan hasil pandangan mata saya ketika melakukan perjalanan ke Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja. Kampung tua Puangbembe di Lembang/Desa Puangbembe Mesakada, Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki satu simbol sakral.Â
Simbol tersebut berupa batu yang menyerupai kerbau. Simbol ini dinamai oleh warga setempat sebagai balo' tedong. Ada pula yang menyebutnya batu tedong-tedong.Â
Dalam bahasa Toraja, tedong artinya kerbau. Sehingga balo' tedong atau  batu tedong-tedong diartikan sebagai batu berbentuk kerbau.Â
Keberadaan Balo' tedong di kampung tua Puangbembe didasari oleh fakta masa lalu bahwa di kampung tua ini dulunya memiliki banyak kerbau. Dengan kata lain, kampung ini adalah penghasil kerbau terbanyak di masa lalu.Â
Kerbau sendiri adalah hewan yang memiliki peran penting bagi warga Puangbembe. Selain difungsikan untuk pertanian, misalnya membajak sawah, kerbau juga adalah hewan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan acara/upacara kematian (rambu solo').Â
Kerbau juga adalah salah satu simbol kemakmuran. Keluarga yang memiliki banyak kerbau, sudah pasti kaya dan sejahtera secara sosial. Ini terkait dengan banyaknya kerbau yang dipotong atau dikurbankan ketika ada orang Toraja, dalam hal ini warga Puangbembe yang meninggal.Â
Jejak keberadaan kerbau yang banyak di kampung ini masih nampak dari banyaknya tanduk-tanduk kerbau yang dipasang di depan rumah-rumah warga.Â
Rumah warga yang bermodel rumah adat tongkonan, biasanya akan dipasangi puluhan tanduk-tanduk kerbau sebagai tanda banyaknya jumlah kerbau yang pernah dipotong ketika pelaksanaan upacara kematian (rambu solo').Â
Hingga kini, di era modernisasi dan agama Kristen telah masuk ke kampung tua Puangbembe, Balo' tedong masih dipercaya sebagai pemberi berkah bagi warga kampung tua Puangbembe.Â
Mengapa warga di sana masih mempercayainya? Salah satu dasarnya adalah 90% dari 40 KK yang bermukim di kampung tua masih menganut agama kepercayaan kepada leluhur. Kepercayaan mereka disebut alukta atau aluk todolo.
Tradisi leluhur warga Puangbembe masih terpelihara hingga saat ini. Ajaran Kristen yang sudah dianut sejumlah warga tidak membuat mereka meninggalkan paham dalam alukta. Tradisi leluhur dan keKristenan dijalankan secara berdampingan.
Warga penghuni kampung tua Puangbembe melestarikan keberadaan batu tedong-tedong ini. Secara pribadi saya melihatnya bahwa batu tersebut masih memiliki nilai kesakralan dan memuat pula kemistisan yang dipercaya oleh warga di sana.Â
Batu ini menjadi salah satu kebanggaan yang sekaligus menggambarkan kebahagiaan atas kehadirannya di tengah-tengah perkampungan tua Puangbembe.
Kesakralan balo' tedong akan nampak dengan jelas ketika pada waktu-waktu tertentu. Warga kampung tua Puangbembe membawa sesaji berupa makanan, daging babi, daging ayam, sirih dan pernak-pernik sesaji lainnya untuk dipersembahkan di balo' tedong tersebut.Â
Tradisi ini dimaksudkan untuk memohon doa dan diberi keberkahan agar hasil panen atau hasil ladang melimpah. Misalnya, ketika masuk masa tanam padi. Sebelum warga turun menggarap sawah, akan diadakan prosesi messun. Warga akan membawa sesaji dan memanjatkan doa-doa kepada leluhur mereka dengan harapan hasil panen akan lebih baik. Dipilih hari baik sebelum melakukan prosesi tersebut.
Setelah prosesi dijalankan, barulah semua warga Puangbembe turun serentak menggarap sawah-sawah tadah hujan yang ada di sana.Â
Bagi masyarakat umum mungkin bisa dianggap sebagai mitos. Namun, bagi warga di sana, batu ini memberikan keberkahan dan kemakmuran jiwa dalam menjalankan roda kehidupan mereka.
Meskipun batu ini sakral dan memuat sesuatu yang mistis, akan tetapi warga di sana bisa duduk dengan bebas menunggani batu tedong-tedong tersebut. Mereka merasa nyaman saja dan biasa-biasa saja.Â
Secara pribadi, saya tidak berani melakukannya. Apalagi saya adalah warga pendatang, meskipun saya masih orang Toraja juga tapi berasal dari sub-etnis berbeda dengan warga Simbuang.
Berdasarkan keterangan warga Puangbembe, ternyata batu tedong-tedong memiliki anak. Modelnya persis sama, hanya ada bagian kakinya yang sudah patah. Rasa penasaran pun kembali datang di benak saya. Sautu hari saya perlu mengunjungi kampung tua Puang bembe kembali untuk melihat anak dari batu balo' tedong.
Inilah salah satu keunikan lain dari perjalanan saya melakukan pendampingan individu pendidikan guru penggerak di Lembang Puangbembe Mesakada, Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI