Untuk membuat warung tetap buka dan pengunjungnya stabil setiap hari saya memperhatikan inovasi yang dilakukan oleh salah satu warung pinggir jalan yang biasa saya jadikan persinggahan jika ada perjalanan ke Makassar. Pertama, kebersihan toilet dan kamar mandi benar-benar diperhatikan. Pemilik warung bahkan turun langsung menyikat toilet dan kamar mandi yang hanya dua bilik.Â
Kemudian, pemilik warung juga menyediakan beberapa balai-balai untuk menjadi sarana istirahat, baring-baring atau tidur bagi para sopir atau penumpang. Disiapkan pula beberapa bantal. Suasana warung dibiarkan terbuka, sehingga hawa panas Enrekang berubah menjadi sejuk karena tiupan angin yang menembus warung.Â
Pemilik warung yang merupakan sepasang suami istri paruh baya juga sangat sopan kepada pengunjung, termasuk ke saya. Dalam rangka menjalankan tanggung jawab mengajar di studio Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan untk program Samrt School, saya pun bertolak ke Makassar dari Toraja sekitar pukul 5 sore. Nah, perjalanan 2,5 jam dari Makale membuat saya lapar dan sedikti capek. Tadi malam saya singgah lagi di warung tersebut untuk kesekian kalinya. Sang ibu langsung menyambut dengan senyum dan bertanya, "Bapak sudah lama tidak singgah lagi.
Seperti biasa, ibu pemilik warung sudah hafal pesanan saya. Kopi pahit alias kopi hitam tanpa gula. Saya memesan kopi pahit untuk dimasukkan ke termos yang saya bawa. Saya butuh bekal kopi sebagai teman perjalanan ke Makassar untuk menghindari kantuk. Ditawarkan pula mie instant, burasa dan telur rebus untuk saya plus cabe tumbuk. Semua saya ambil dan nikmati. Total saya membayar 30 ribu rupiah untuk semua makanan dan pesanan kopi saya.
Pemilik warung ini juga tidak pernah keberatan jika ada pengunjung yang tinggal berjam-jam di warungnya. Seperti yang biasa saya lakukan. 2-3 jam waktu saya habiskan untuk live di Google Meet atau Zoom, membuat bahan tayang di studio atau sekedar charge smartphone.Â
Jika dibandingakan dengan pemilik warung sejenis di sekitarnya, hanya warung ini yang memberikan layanan maksimal. Di tempat lainnya, biasa ada yang cemberut, muka masam hingga menaikkan tarif jika terlalau lama menggunakan fasilitas lisrik. Pemilik warung pun selalu mengingatkan saya untuk singgah istirahat atau tidur sejenis jika kembali dari Makassar. Warungnya buka 24 jam. Mereka setia melayani siapapun yang singgah. Warung tidak memiliki pintu, terbuka begitu saja, siap menerima pengunjung.
Kebersihan warung dan keramahan pemilik dilengkapi dengan selalu menjual makanan yang belum expired. Makanan ringan dan kue tradisional paling cepat rusak. Banyak warung sejenis yang membiarkan kue-kue tradisional yang telan rusak tetap terpanjang di gerai warung. Pemandangan tersebut tentunya turut berpengaruh pada enggannya pengunjung untuk singgah. Saya pun acap kali mendapatkan pemandangan itu. Bahkan kue-kue sudah berbulu dan berubah warna masih dipajang.Â
Demikianlah pengalaman saya membaca cara eksis warung-warung pinggir jalan dalam melayani pelanggan dan membuat warungnya tetap memiliki pembeli di tengah tantangan kurangnya komoditi jualan dan berkurangnya pula pembeli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H