Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Eksotisme Kampung Tua Puangbembe

21 Oktober 2023   05:38 Diperbarui: 24 Oktober 2023   19:45 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja terdapat satu kampung tua bernama Puangbembe. Dari nama kampung tua inilah asal-usul nama desa (lembang) Puangbembe Mesakada. 

Untuk masuk ke kompleks kampung tua ini, hanya bisa dilakukan dengan jalan kaki atau naik kendaraan roda dua. Akses jalan sudah dirabat beton. 

Sebenarnya, mobil dulu bisa masuk, akan tetapi ada satu titik jalan yang pernah longsor sehingga hanya menyisakan jalan untuk pejalan kaki dan roda dua. 

Suasana asri menyambut saya memasuki kampung tua ini. Sekelompok tanaman bambu ada di pintu masuk. 

Kampung tua Puangbembe terdiri dari rumah-rumah adat tua yang bernama tongkonan. Rumah adat tongkonan di sana tidak seperti rumah adat tongkonan pada umumnya yang tinggi dan besar. 

Khusus di Puangbembe, tongkonan menyerupai tongkonan Mamasa di Sulawesi Barat. Tongkonan agak kecil dengan gaya atap agak landai. 

Selain itu, jika dilihat, lantai tongkonan lebih rendah. Mungkin salah satu alasan tongkonan di sini mungil karena cuaca yang sangat dingin. 

Rumah-rumah tua di kampung tua Puangbembe sudah berusia ratusan tahun. Kondisi terpencilnya Puangbembe tergambar dari ukiran-ukiran Toraja pada dinding tongkonan yang tidak. Di penuhi corak warna-warni. Kalaupun ada, warnanya sudah usang.

Sudah banyak juga rumah tongkonan yang tidak berpenghuni. Kemungkinan besar penghuninya sudah berpindah ke sekitar pinggir jalan atau telah meninggal. 

Sekitar 90 persen warga kampung tua Puangbembe masih menganut kepercayaan aluk todolo. Oleh karenanya pola kehidupan warga di sana masih kental mengikuti tata cara hidup nenek moyang mereka. 

Salah satunya adalah jika ada warga kampung tua yang meninggal, maka seluruh warga dalam kampung tidak akan mengkonsumsi nasi dan makan daging ayam. Makanan pokok mereka hanya beras dari jagung atau umbi-umbian. 

Selain itu, tak boleh ada bunyi-bunyian gendang selama ada jenazah terbaring di atas rumah tongkonan. Hal ini nampak dari kehidupan kampung, ketika saya masuk, suasana perkampungan boleh dikatakan sangat sepi. Hanya ada beberapa ibu-ibu yang sedang menenun kain di alang dan di emoer tongkonan. 

Aura mistis menyelimuti perjalanan saya menyusuri beberapa ruas jalan setapak kampung tua. Sangat tuanya rumah-rumah adat dan alang (lumbung) turut membawa aura mistis tersebut. 

Demi mendukung kearifan lokal setempat, maka saya pun hemat berbicara meskipun  saya sesekali bercanda juga dengan seorang warga lokal bernama bapak Daniel Marsya yang mengantar saya. 

Keeksotisan kehidupan dan suasana di kampung tua Puangbembe bukan hanya ditunjukkan oleh pola hidup warga dan tuanya bangunan. Ada satu hal yang paling menarik perhatian saya. 

Di pusat kampung tua, terdapat satu batu menyerupai kerbau dengan posisi berdiri menghadap ke utara. Ukurannya kecil saja, seukuran ember sedang. Batu ini sangat sakral bagi warga sehingga dijaga dan dihormati. 

Batu tersebut menjadi tanda bahwa di kampung tua Puangbembe dulu banyak kerbau, yang mana kerbau adalah simbol kemakmuran warga. 

Ada ritus penyembahan yang rutin diselenggarakan warga di batu itu. Warga rutin memberikan  sesaji setiap tahun untuk memohon doa berkat agar diberikan hasil panen yang melimpah. 

Meskipun batu yang menyerupai kerbau itu sakral, akan tetapi warga di sana bisa duduk di atasnya dengan santai. Bagi saya sendiri, tidak berani melakukannya. 

Pola kehidupan asli orang Toraja zaman dulu masih diterapkan warga kampung tua Puangbembe. Bagian kolong rumah tongkonan masih dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan ternak seperti kerbau. 

Tidak ada pondasi dari semen dan beton bangunan dalam kompleks perkampunga. Pondasi rumah hanya terbuat dari bebatuan alami yang disusun rapat. Hanya ada satu bangunan dari semen yang saya lihat, yakni sebuah kamar mandi. 

Teknologi juga sudah meninggalkan jejak di kampung tua, atap-atap rumah tongkonan sudah ada yang diganti dari atap bambu menjadi atap seng. 

Selain itu ada pula jejak parabola. Entah masih terpakai atau tidak, tapi di beberapa rumah masih terdapat antena parabola yang terpasang dan terbengkalai. 

Area kampung tua Puangbembe dapat dilihat dengan jelas dari arah UPT SMPN Sayap 2 Simbuang. Deretan atap rumah tongkonan dan alang berbaris rapi menunjukkan keindahannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun