Berdasarkan informasi dari bapak Daniel Maraya (paman ibu Finarti dan wakasek di UPT SMPN Satap 2 Simbuang), hanya warga Puangbembe yang masih mempertahankan tradisi leluhur dan budaya asli Simbuang tersebut.Â
Proses ma'patama tidak sembarang dilakukan. Hanya orang-orang tertentu yang memahami teknik dan ritualnya. Selanjutnya, butuh sejumlah orang yang melakukan kegiatan ma'patama.
Terdapat 3-4 sarung yang bisa terbentuk dari satu kali hasil ma'patama. Durasi pembuatan satu kain sarung tenun Simbuang antara 3-4 minggu. Tergantung pada frekuensi penenunan tiap hari.Â
Keempat, kain tenun asli Simbuang adalah mas kawin yang tak ternilai harganya dalam perkawinan adat Simbuang. Kain yang telah dibentuk sarung akan disarungkan kepada calon mempelai pria ketika melamar calon istri. Orangtua pihak wanita akan mengenakannya kepada mempelai pria.Â
Kain tersebut selain tanda ikatan perkawinan, juga adalah tanda terjalinnya hubungan keluarga. Sekiranya terjadi perceraian, maka kain sarung tersebut tetap akan dimiliki oleh sang pria sebagai tanda persaudaraan atau kekeluargaan.
Di balik kesakralan dan keunikan tenun asli Simbuang, terdapat tantangan utama para penenun. Tantangan itu adalah penjualan kain hasil tenun warga. Kain hasil tenunan menghadapi kesulitan dalam penjualan padahal bisa ratusan kain yang selesai dibuat warga Simbuang dalam sebulan.Â
Para penenun biasanya membuat kain tenun untuk digunakan sendiri. Adapun kisaran harga kain tenun Simbuang saat ini adalah 450 ribu hingga 800 ribu rupiah. Mahalnya harga tergantung pada motif dan perpaduan warna.Â
Oleh karena menenun sudah menjadi bagian pekerjaan sehari-hari para wanita Simbuang, maka prakarya di sekolah-sekolah juga mengadaptasinya. Namun, sekali lagi hanya murid wanita yang melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H