Meskipun saat ini warga Simbuang sudah tidak memproduksi benang lagi dan lebih banyak membeli benang jadi di kota sebagai bahan utama penenunan, akan tetapi ada sejumlah fakta unik pada proses pembuatan kain tenun asli Simbuang. Keunikan ini sekaligus kesakralan yang dikandungnya.Â
Fakta sakral pertama adalah kaum laki-laki tidak diperkenankan untuk menenun. Jadi, hanya kaum wanita yang dibolehkan untuk melakukan proses penenunan. Kaum pria hanya berhak menyiapkan peralatan untuk menenun.
Kedua, tidak diizinkan melakukan kegiatan ma'patama (memasukkan benang) ke dalam alat tenun ketika sedang ada keluarga yang meninggal dan jasadnya masih disimpan di atas rumah.Â
Fakta ini saya dapatkan ketika melihat proses pembuatan kain tenun asli Simbuang di kampung tua Puangbembe, Lembang Puangbembe Mesakada. Adalah ibu Finarti Puang, seorang guru honorer muda di UPT SMPN Satap 2 Simbuang, yang juga penduduk asli Puangbembe yang menyampaikannya kepada saya. Ia sedang menyelesaikan kain tenun di emper rumah tongkonan (rumah adat) Toraja khas Simbuang.Â
Menurutnya, kain tenun yang ia sedang buat adalah kain tenun yang sudah dimasukkan rangkaian benang-benangnya ketika neneknya dulu masih hidup.Â
Oleh karena neneknya telah meninggal dan jasadnya masih disimpan di atas rumah, maka ketika benang-benang tersebut telah selesai ditenun, maka proses tenun akan dihentikan total hingga jasad selesai dikuburkan.Â
Saya sempat berniat membeli satu sarung dari kain tenun asli Simbuang kepada ibu Finarti. Ibu Finarti mengambilnya dan memperlihatkannya. Warnanya merah dengan bintik dan garis orange. Namun, ibu Finarti tidak berniat menjualnya.Â
Ia memberikan kode kedipan mata kepada pamannya terkait alasannya. Akhirnya saya memahami bahwa kain tenun tersebut sudah diperuntukkan untuk ritual keluarga. Atau kain tenun tersebut merupakan mas kawin saudaranya.Â
Ketiga, khusus proses tenun kain di Lembang Puangbembe, jika akan dilakukan proses ma'patama, maka akan disembelih ayam tertentu sebagai ritual awal.Â