Kecamatan Simbuang yang terpencil dan unik, akhirnya saya kembali menginjaknya untuk kedua kalinya. Setelah kunjungan pertama kurang lebih sebulan yang lalu, saya kembali menuju kecamatan dengan predikat 3T ini untuk menunaikan  tugas Pendampingan Individu 2 Program Guru Penggerak Angkatan 9 Kabupaten Tana Toraja.Â
Medan yang ekstrim, rute menantang dan menguji adrenalin serta kampung yang unik dengan segala macam cerita misteriusnya tak menghalangi saya untuk menjalankan tugas mulia di bidang pendidikan. Jika pada perjalanan perdana saya berangkat siang hari menuju Kecamatan Simbuang, maka pada perjalanan kedua saya kali ini, perjalanan dilalui malam hari.Â
Saya tidak sendiri ke sana. Saya ditemani salah satu tekan guru penggerak ngkatan 4. Bapak Neptianus Stepanus Podi. Akrab disapa pak Step. Ia menjadi driver saya. Kemampuannya menjajal rute ke Simbuang sudah tidak diragukan lagi. Sudah lebih 5 tahun beliau mengajar pada salah satu SD Negeri di Kecamatan Mappak yang berbatasan dengan Kabupaten Mamasa. Kami menunggangi motor jenis XTrail. Saya menjadi penumpang motor. Sekaligus kesempatan perdana saya menaiki motor jangkung ini sebagai penumpang.Â
Kami agak terlambat berangkat berhubung saya harus menemani seorang petugas dari Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan monitoring evaluasi pada kegiatan Pendampingan Individu 2. Kami meninggalkan kota Makale pukul 4 sore. Dengan estimasi perjalanan 3-4 jam karena berboncengan, maka sudah dipastikan kami akan menyusuri hutan dan rute ekstrim menuju Simbuang di malam hari. Untuk memangkas jarak, pak Step mengambil rute jalan pintas menuju area proyek PLTA Malea Energy di Makale Selatan. Pak Step membawa saya melewati lorong perkampungan yang abru pertama kali saya lewati. Katanya lewat rutetersebut bisa memangkas waktu tempuh satu jam dibandingkan lewat jalur normal yang beraspal. Meskipun kata warga dari Simbuang, "Meskipun jalur normal jauh, tapi kami orang Simbuang lebih suka melewati yang beraspal karena tidak ada aspal di Simbuang."Â
Jalan berdebu menemani perjalanan pada 10 km pertama di sepanjang jalur PLTA. Menyusuri area proyek di sisi sungai Sa'dan perlahan saja. Sejumlah truk besar milik PT Malea melintas. Ditambah pengerjaan rabat beton, maka sempurnalah debu berhamburan diterpa angin.Â
Oleh karena belum terbiasa membonceng di motor xtrail, maka rasa pegal menyerang kedua paha saya, padahal baru sepuluh km rute yang dilalui. Pantat pun mulai pegal. Helm yang saya gunakan juga sedikit menjadi beban saya. Merasa terganggu dengan helm, terlintas di pikiran saya untuk menitipkannya di warung atau kios nantinya.Â
Sebuah jembatan gantung menjadi penghubung Kecamatan Makale Selatan memasuki wilayah Kecamatan Bonggakaradeng. Sedikit tegang juga ketika motor melintas di atasnya.Â
Pukul 5 sore kami masuk Desa/Lembang Poton. Perut mulai lapar sehingga kami memutuskan untuk mencari warung makan sekaligus menitipkan helm. Jujur, saya kurang nyaman sebagai penumpang XTrail, lebih nyaman jika jadi driver. Sayangnya, tubuh saya pendek, kaki tidak menyentuh tanah jika saya jadi driver. Itulah alasannya saya cukup jadi penumpang yang dibonceng.Â
Pak Step sudah hafal benar warung-warung makan di sepanjang rute menuju Simbuang dan Mappak. Sempat singgah di warung pertama, namun tak ada menu makan. Pak Step mengusulkan  ke warung mama Nova di kampung Pangala', Lembang Poton. Benar di warung ini ada menu makan, nasi dan daging ayam kampung. Tak lupa juga saya memesan kopi pahit. Sayangnya di warung ini tidak ada jaringan telpon dan internet. Selesai makan, saya minta izin ke mama Nova untuk titip helm. Esok hari kami singgah ambil. Ditambah basa-basi sana-sini, waktu terus berlalu, gelap menjemput.Â
Pukul 5.50 petang kami melanjutkan perjalanan. Gejala duduk di sadel XTrail masih terasa di kedua paha saya. Terutama paha kaki kiri. Namun, saya sedikit merasa nyaman setelah melepas helm dan menitipkannya di warung.Â