Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerita Perjalanan: Selamat Datang di Kecamatan Simbuang, Tana Toraja

25 September 2023   12:49 Diperbarui: 14 Oktober 2023   00:58 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan kampung Puangbembe Mesakada. Sumber: dok. pribadi.

Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan Akses Jalan menuju Kecamatan Simbuang Menegangkan, Tetapi Ada Bonus

Kecamatan Simbuang, sebagai salah satu kecamatan dengan status 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) di kabupaten Tana Toraja, terdiri atas satu kelurahan dan 5 lembang (desa). Satu-satunya kelurahan di sana adalah Kelurahan Sima yang juga menjadi ibu kota kecamatan, sementara kelima desa yang ada adalah Lembang Makkodo, Lembang Pongbembe, Lembang Puangbembe Mesakada, Lembang Simbuang, dan Lembang Simbuang Batutallu.

Kelurahan Sima adalah tempat kedua yang ditemui di Kecamatan Simbuang jika mengambil rute dari Kota Makale. Sima bertindak sebagai pusat ekonomi dan kesehatan. Di sana ada pasar dan Puskesmas Lekke'. 

Setelah kurang lebih 4 jam perjalanan mengendarai motor dari Kota Makale, tibalah saya di lereng pegunungan yang masuk dalam wilayah administrasi Lembang Makkodo, Kecamatan Simbuang. Sebenarnya, durasi waktu perjalanan 4 jam ini terbilang cepat mengingat jalan yang dilalui dalam kondisi kering. Sekiranya musim hujan, tentunya butuh tambahan waktu sekitar 2-3 jam lagi untuk tiba di Simbuang. Tidak banyak permukiman penduduk yang saya lihat di sepanjang jalan wilayah Makkodo. Mungkin masih terdapat permukiman warga di antara lembah-lembah perbukitan. 

Saya baru ingat, ternyata ada adik kelas saya di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Toraja yang telah menjadi kepala lembang (kepala desa) di Makkodo. Namanya Sukardi Kombongkila'. Beliau pemimpin muda yang cakap dan kreatif di desanya. Hal ini nampak dari beberapa titik rabat beton yang rusak sudah diperbaikinya kembali bersama warga di sana. Hal ini saya ketahui dari postingan-nya beberapa waktu lalu di Facebook. Sayangnya, saya tak sempat mencari tahu lokasi rumahnya sewaktu lewat Makkodo karena pikiran telanjur fokus pada ketegangan di jalan dan niat sampai di Simbuang. 

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan ketika memasuki Kecamatan Simbuang. Hal ini karena saya memutuskan untuk fokus ke tujuan dan meninggalkan sejenak penelusuran tempat menarik di sepanjang jalan. Terlebih lagi, hujan rintik-rintik masih menemani saya ketika tiba di jalan yang rata dan sudah dirabat beton di Lembang Makkodo. Kampung ini memiliki topografi pegunungan dengan rute menanjak dan menukik. Cuaca di Lembang Makkodo sangat dingin seiring tiupan angin dan hujan rintik-rintik.

Saya memacu motor dalam kecepatan sedang. Jalan sekarang agak lebar dan telah dirabat beton. Di depan saya memanjang bekas longsor yang sempat memutus akses ke Simbuang di awal tahun 2023 yang lalu. Sebuah excavator masih terparkir di sekitar lokasi longsor. Tidak banyak orang, hanya satu dua orang saja yang sempat dinampak oleh kedua mata saya. 

Hanya ada beberapa rumah ditambah satu gereja. Setelah kurang lebih 2 km agak rata, jalan kembali menukik. Tapi sudah nyaman dilewati karena telah dirabat beton. 

Lalu, tiba-tiba saya dikagetkan oleh satu kelompok kuda liar yang bersolek di tengah jalan. Ada yang seperti penjaga terhadap rekannya yang sementara mengendus rerumputan. Seekor kuda mungil berbulu putih berada di tengah kerumunan kuda. Saya berhenti sejenak, sambil menunggu kuda-kuda liar tersebut berpindah tempat. Ini pertama kali dalam hidup saya bertemu kuda liar di alam bebas. 

Agak lama juga kuda-kuda itu akhirnya memberikan jalan ke saya. Pagar-pagar kayu dan bambu bergantian dengan sulu' memanjang di sekitar kuda-kuda liar ini berada, baik di sisi kiri jalan maupun di sisi kanan. Beruntunglah, musim kemarau sehingga kuda-kuda liar ini dibiarkan masuk ke bekas persawahan tadah hujan. Tidak berani saya mengusir, apalagi ini perjalanan pertama ke Simbuang. Ada kekuatiran saya, jangan sampai kuda-kudanya berontak dan menerjang saya. Saya tak sempat mengabadikan lewat foto dan video karena saya hanya sekitar 5 meter dari kelompok kuda liar, apalagi hujan juga masih turun.

Kelompok kuda liar di Kecamatan Simbuang. Foto diambil ketika kembali dari Simbuang. Sumber: dok. pribadi.
Kelompok kuda liar di Kecamatan Simbuang. Foto diambil ketika kembali dari Simbuang. Sumber: dok. pribadi.

Perlahan kuda menyingkir ke sebelah kiri jalan. Saya pun melanjutkan perjalanan. Di tempat ini, pemandangan alam sangat luar biasa. Sore itu sudah sekitar pukul 6 lewat sepuluh menit. Langit masih terang meskipun ada hujan rintik-rintik. Sejauh mata memandang ke depan dan ke belakang, hanya ada lereng pegunungan hijau dengan pohon pinus. Tak ada penampakan kelompok perumahan warga. Simbuang dan sekitarnya memang belum terjamah modernisasi. 

Saya mendapati kelompok rumah pertama dengan toko besar dan ada warungnya. Namun, saya tidak berhenti. Tujuan saya masih belum jelas sehingga saya memutukan untuk terus melaju.

Jalan landai membawa saya pada sebuah pertigaan dengan ukuran jalan yang identik. Sempat saya mengambil arah kanan, karena dari kejauhan saya melihat banyak rumah. Akan tetapi, saya segara berbalik dan mengigat pesan orang-orang yang saya temui sebelumnya untuk tetap mengambil jalur kiri. 

Sudah ada tiang listrik di pinggir jalan sebagai patok yang saya ikuti. Pikir saya, tiang listrik pasti melewati jalan utama. Dan benar saja, saya akhirnya tiba di sebuah jalan turun yang mana di sana terdapat beberapa bangunan rumah dan gereja. 

Di depan saya ada pengendara motor. Saya mengejar mereka dan bertanya jalan menuju Simbuang. Mereka menyahut agar saya lurus terus. Meskipun mulai temaram, saya masih sempat bertanya kepada sekelompok anak yang berkejaran di jalan. Saya bertanya, masih jauhkah Simbuang. Mereka hanya membalas bahwa kampung mereka adalah Sima. 

Tak lama kemudian saya tiba di Pasar Lekke'. Saya terus melaju dan sesekali membunyikan klakson motor. Saya melewati Puskesmas Lekke' dan ada pula sejumlah kios dan toko di sana. Ketika saya menemukan kantor Panwaslu Kecamatan Simbuang, perasaan saya mulai tenang. Artinya, ini sudah Simbuang.

Pemandangan kampung Puangbembe Mesakada. Sumber: dok. pribadi.
Pemandangan kampung Puangbembe Mesakada. Sumber: dok. pribadi.

Sebuah pertigaan kembali saya temukan. Untung ada dua bapak-bapak yang pulang mengambil tuak sedang menapaki jalan setapak di dekat tempat saya berhenti. Saya bertanya tentang lokasi tujuan saya, yakni UPT SMPN Satap 2 Simbuang dan SMAN 13 Tana Toraja. Seorang bapak menjawab dengan sangat ramah. Ia berujar sambil menunjuk ke arah barat dan mengatakan bahwa tujaun saya berada di dekat tower BTS Indosat. Saya lihat masih jauh, hanya sayup-sayup kerlap-kerlip lampu dari sana. 

Ketika nampak sebuah bentangan yang luas dan nyaman dipandang mata, saya memutuskan berhenti dan menelepon rekan guru yang saya dampingi di Pendampingan Individu Program Guru Penggerak. Pak Kristian Betteng dan sekolahnya adalah tujuan pendampingan saya. Lokasinya berada di Lembang Puangbembe Mesakada. Pak Kristian sementara menunggu saya di depan jalan menuju tempat tinggalnya. Ternyata antara Sima dan tujuan saya masih jauh. Katanya masih sembilan kilometer lagi. Bisa mencapai sejam untuk tiba di sana jika kondisi jalan berlumpur. 

Oya, di sekitar Makkodo, Sima, Lekke dan Rante yang saya lewati sudah ada jaringan telepon dan internet meskipun terbatas. Satu-satunya akses yang tersedia maksimal adalah layanan Telkomsel, sementara Indosat yang masih dalam tahap pembangunan sedikit membnatu warga pula akan kebutuhan internet.

Malam sudah datang. Kontur jalan menuju Puangbembe Mesakada adalah percampuran antara tanah, lumpur, rabat beton, dan bebatuan. Satu waktu saya berpapasan dengan puluhan bapak-bapak mengendarai motor sambil menggendong ayam jantan di pinggang mereka berbungkus sarung. Mungkin para bapak-bapak kembali dari arena massaung atau adu ayam.

Malam makin gelap ketika saya tiba di sebuah jembatan kecil dengan sungai di bawahnya yang megalirkan air keruh. Apakah ada hujan lebat di atas sana? Ternyata air keruh itu berlangsung sepanjang tahun karena terdapat banyak kerbau yang berkubang di Nosu, wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Dengan demikian, wilayah Nosu masih lebih tinggi daripada Simbuang. 

Tibalah saya pada tower Indosat yang dimaksud. Saya mendapati sebuah papan nama bertuliskan UPT SMAN 13 Tana Toraja. Di sampingnya ada kios dan sejumlah bapak-bapak menggendong ayam jantan. Saya bertanya tentang guru di UPT SMPN Satap 2 Simbuang bernama Bapak Kristian Betteng. Jawaban mereka menenangkan saya. Hanya beberapa ratus meter di depan. 

Pak Kristian menyambut saya di jalan setapak menuju bekas ruangan kelas yang dijadikan tempat tinggal bersama beberapa guru lainnya. Ia menawarkan untuk membantu menaikkan motor saya melewati jalan tanah sempit tersebut. Ada sulu' menjadi pembatas. Menurut Pak Kristian, sulu' atau pagar pembatas ternak liar ini berfungsi menghalau kerbau liar dan kuda liar agar tidak masuk ke pekarangan tempat tinggal mereka. 

Pak Kristian pun pernah dikejar oleh kawanan kuda liar di lokasi ia mencari jaringan internet beberapa waktu lalu. Saat itu ia sedang mengikuti sesi kolaborasi dengan fasilitator lewat Google Meet. Memang, jaringan internet masih sangat terbatas di SMPN Satap 2 Simbuang dan sekitarnya. Internet pun baru beberapa waktu yang lalu masuk ke Simbuang lewat transmisi sinyal dari Nosu, Kabupaten Mamasa. 

Tampak depan sebuah Sekolah Dasar dari tempat saya tinggal di Simbuang. Sumber: dok. pribadi
Tampak depan sebuah Sekolah Dasar dari tempat saya tinggal di Simbuang. Sumber: dok. pribadi

Selamat malam. Selamat datang di Simbuang. Dua ibu guru menyapa saya sambil tertawa. Selamat datang si Puangbembe Mesakada. 

Hawa sangat dingin menusuk, meskipun saya sudah mengenakan jaket waterproof dan mantel hujan. Saya langsung minta secangkir besar air hangat dan segelas kopi pahit. Tidak terasa dinginnya efek dari dinginnya hawa Simbuang., khususnya Desa Puangbembe Mesakada. Tak ada hiruk-pikuk warga. Listrik yang menyala pun seperti balon kembang kempis karena merupakan listrik dari turbin. Banyaknya pemakai sering membuat listrik turbin ini padam. Daya yang dihasilkan turbin tak seimbang dengan pemakai. Jadi, jangan harap bisa menonton TV atau sekadar charge laptop. Adaptornya bisa rusak. Beruntung handphone bisa menyesuaikan. 

Waktunya tidur. Saya menumpang di bilik kamar kepala UPT SMAN 13 Tana Toraja. Bapak Sakaria Doalang, S.Sos. selaku kepala sekolah adalah rekan kerja saya dulu di UPT SMAN 3 Tana Toraja. Beliau menjadikan bangunan SMP Satap ini sebagai tempat tinggal mengingat rumahnya berlokasi di dekat Bandara Toraja Airport, Ge'tengan, Mengkendek. Butuh waktu sehari perjalanan dari sana untuk tiba di Simbuang. Ada sekitar 8 guru PNS dan honorer yang menemani saya di bangunan yang kami gunakan untuk tidur. Mereka bahu-membahu secara swadaya membuat bilik-bilik kamar dengan menyekat ruangan kelas tak terpakai tersebut.

Pengalaman perjalanan saya yang pertama ke Simbuang akhirnya makin bertambah dengan berbagi cerita sepanjang malam. Banyak informasi terkait kearifan lokal, adat dan budaya warga Simbuang yang saya dapatkan. 

Mimpi dan kerinduan warga Kecamatan Simbuang akan pembangunan, kearifan lokal, kepercayaan, cerita mistis serta tradisi di Simbuang akan saya bagikan pada tulisan selanjutnya.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun