Benar saja, akhirnya saya bertemu rumah penduduk. Sebuah rumah kayu mungil menyapa. Tanpa penghuni yang nampak, hanya sebuah kandang babi di sampingya yang mengeluarkan suara. Perasaan saya mulai tenang karena mendapatkan rumah. Semoga Simbuang sudah dekat di depan.Â
Semakin lama saya melaju, kontur jalan landai dan berbatu seperti tiada akhir. Kapan sampainya. Sebuah mobil jenis Toyota Hilux 4x4 berwarna putih terparkir di sisi jalan ditutup terpal. Sepintas saya lihat, mobil tersebut sudah agak lama terparkir. Entah karena mesin over heating atau kehabisan bahan bakar, tapi sepertinya mobil tersebut sudah menyerah kembali ke ibu kota kabupaten.
Beberapa saat kemudian, saya disuguhi sebuah perkampungan kecil dengan beberapa rumah saja berada di pinggir sungai. Nampak jelas saya lihat dari arah bukit. Ada asap mengepul dari salah satu rumah disertai suara babi meminta makan sore.
Baca juga:Â Perjalanan ke Kecamatan Simbuang, Wilayah Terisolir Tana Toraja yang Menantang
Sebuah rumah panggung tanpa penghuni kembali menyapa. Jalan di depannya masih meninggalkan jejak musim hujan tahun lalu. Ternyata kolong rumah kosong menjadi tempat beristirahat bagi yang capek mengendalikan kendaraan. Lalu, sebuah rumah panggung dengan tiga motor dan satu truk terparkir di kolongnya. Tak ada orang untuk bertanya. Saya terus melaju perlahan.
Dengan jalan yang mulai menanjak dan medan berbatu, rasa pegal di bahu mulai memberi kode. Sekitar 5 rumah penduduk dan satu bangunan gereja tanpa dinding menyambut saya kemudian. Ada tiga orang di sana, satu lansia duduk di teras dan sepasang suami istri bahu membahu mengecor jalan ke kolong rumah mereka. Saya hanya melempar senyum dan membunyikan klakson dua kali sebagai sapaan.Â
Sekitar 5 rumah penduduk dan satu bangunan gereja tanpa dinding menyambut saya selanjutnya. Ada satu rumah besar dengan peralatan bengkel. Ya, bengkel motor. Sekarang ada gambaran lokasi jika motor ada kendala di jalan. Sayangnya, tak ada orang di sana.Â
Di depan saya kembali hadir pagar penutup jalan yang disebut SULU'. Oleh karena pagar terbuka, jadi saya terus melaju.Â
Selepas tikungan tajam dan sungai kecil, sebuah tanjakan curam menantang saya. Sejenak saya berhenti dan minum air. Tangan saya berkeringat keras. Batuan besar dan sedang bergelimpangan di jalan. Jalur yang bisa dilalui adalah di bagian kanan bahu jalan yang berbatasan dengan kebun berpagar bambu warga.Â
Tak ada pilihan, jika saya berhenti lama, gelap sudah menanti di depan. Saya arahkan motor ke jalan yang mudah dilewati. Dengan menurunkan kedua kaki, akhirnya saya bisa melewati tanjakan berbatu sejauh kurang lebih 100 meter. Tulang kering kaki kiri saya mendapat bonus pertama, yakni terantuk ke batu dan pedal stan kaki. Â Rasanya... Ya.. Ampun.... jangan ditanya perihnya.
Beruntung, di punggungan bukit yang ditumbuhi beberapa pohon jati, saya berhenti sejenak mengambil nafas. Pemandangannya indah dengan lereng pegunungan hijau. Jauh di depan, hutan pinus yang tak meninggalkan jejak pemukiman manusia. Di tempat saya berhenti adalah bukit batu warna hitam. Jalan pun dipenuhi bebatuan hitam. Seteguk dua teguk air mineral membasahi leher.