Perjalanan panjang dari kota Makassar ke Makale, Tana Toraja selama kurang lebih 8 jam mempengaruhi fisik saya. Terlebih saya menyetir mobil sendiri. Tiba di rumah menjelang pukul 9 malam membuat saya langsung menuju tempat tidur dan terlelap.Â
Bangun pagi hari ini, saya dikejutkan oleh aroma yang membuat perut saya terganggu. Aroma khas dari sesuatu yang tidak segar lagi. Sedikit menyengat terutama di sekitar bagian dapur. Saya dibuat penasaran. Berkali-kali mondar-mandir, saya berlum berjumpa.Â
Maka teringatlah saya. Tiga hari yang lalu istri menelfon saya bahwa keluarga di depan rumah akan mengadakan ibadah dalam rangka pemindahan jenazah ke tongkonan (rumah adat Toraja). Seekor kerbau besar dipotong sebagai bagian dari tanda adat budaya Toraja ketika akan memindahkan jenazah. Lokasi pemotongan kerbau tepat di samping rumah.Â
Saya pun bergegas berjalan ke arah selatan samping rumah. Benar saja, di sana masih tersisa bekas penyembelihan kerbau. Ada darah yang telah membusuk tersebar di area kurang lebih seluas lapangan sepak takraw. Ribuan umat berwarna putih pucat pun turut mengejutkan saya. Ulat tersebut seolah menari-nari di antara timbunan isi usus kerbau. Di sebelah timur, saya mendapati seonggok usus besar kerbau yang dikerumuni lalat. Empat ekor anjing piaraan saya hanya duduk memandangi saya sambil sesekali menyeka hidung mereka menggunakan kakinya.Â
Mendekati potongan usus tersebut, saya pun dikejutkan dengan penampakan seekor anak kerbau mungil yang terbaring tepat di samping dinding dapur. Sepintas anak kerbau tersebut terlihat segar. Namun, ternyata sumber bau tak sedap berasal dari anak kerbau yang telah berubah wujud menjadi bangkai.Â
Keputusan menguburkan bangkai anak kerbau pun segera saya ambil. Saya kembali ke samping dapur dan mengambil sebuah linggis dan sekop. Sebelum saya kuburkan bangkai anak kerbau tersebut, saya sempatkan memperhatikan bulu hitam kelabu dan jenis kelaminnya. Seandainya beruntung dilahirkan normal, anak kerbau tersebut adalah kerbau betina dengan sedikit warna bulu putih di kepalanya.Â
Temuan kerbau dan sapi yang dipotong dengan kondisi sedang bunting bukanlah hal yang jarang terjadi. Ini sudah kesekian kalinya saya menemukan kasus serupa di sekitar Tana Toraja. Biasanya kerbau bunting yang dipotong ini dibeli di pasar kerbau atau dari warga lokal.Â
Oleh karena penampakan kerbau yang gemuk dan tambun, seringkali dianggap bahwa kerbau betina tersebut mandul. Dalam bahasa Toraja disebut "tedong ambong".Â
Di sini, sangat dibutuhkan peran aktif dari pihak keluarga yang mengadakan acara, pemerintah setempat, tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk melibatkan pihak peternakan daerah dalam hal memeriksa kondisi ternak sebelum diperjualbelikan dan disembelih. Di samping memeriksa kesehatan ternak juga memastikan ternak tidak bunting.
Jika tidak ada mantri hewan, maka bisa melibatkan warga masyarakat yang ahli dalam hal peternakan kerbau dan sapi. Selain itu, pemerintah melalui dinas terkait sepertinya perlu untuk melakukan sosialisasi secara berkala terkait kondisi ternak yang layak potong. Masyarakat umum perlu memiliki pengetahuan dasar seputar ternak yang layak potong. Dengan demikian kejadian kerbau atau sapi bunting yang dipotong tidak akan terulang lagi.Â
Tingginya permintaan ternak kerbau di Tana Toraja di bulan Juli turut menyumbang rendahnya perhatian terhadap kondisi kerbau yang akan dipotong. Bulan Juli merupakan bulan sibuk di Toraja karena banyaknya acara adat rambu solo' (kedukaan). Bukan hanya kerbau jantan yang dibutuhkan, tapi juga kerbau betina yang "ambong", mamdul atau tidak mampu melahirkan lagi. Kerbau "ambong" menyuplai daging yang lebih banyak dari kerbau ukuran biasa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H