Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Serunya Menjadi Ayah yang Mengasuh Anak

23 Juni 2023   13:34 Diperbarui: 23 Juni 2023   13:38 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berangkat ke sekolah bersama anak-anak. Sumber: dok. pribadi.

Memiliki anak adalah impian bagi hampir semua orang. Harapan ini berlaku untuk mereka yang telah menikah maupun yang baru merencanakan mencari pasangan hidup. Ketika telah memiliki anak maka dunia parenting memiliki keseruannya sendiri. Keseruan ini bukan hanay karena mimpi memiliki anak telah terwujud, namun secara psikologis memiliki anak seringkali menjadi pembawa keceriaan dan tantangan dalam rumah tangga.

Sebagai kepala rumah tangga, saya memiliki tanggung jawab dalam mengarahkan dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di samping kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, saya pun memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis keluarga kecil kami. 

Kebutuhan emosional yang nyaman bagi saya adalah ketika tercipta suasana nyaman dalam sirkualsi kehidupan berumah tangga. Sementara kebutuhan psikologis tidak terlepas dari terpenuhinya kebutuhan emosional. Pikiran nyaman, perasaan bahagia dan selalu hadir semangat kerja setiap hari karena ditopang oleh suasana rumah tangga yang nyaman. 

Saya yang menjalankan tugas pokok selaku guru di sekolah tidak lepas dari peran memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis tersebut. Secara sederhana saya mengatakan seperti ini. Secara pribadi, saya tidak bisa tenang meninggalkan rumah untuk mengajar di sekolah atau melaksanakan tugas di lingkungan masyarakat ketika saya mendapati anak saya menangis. Sisi emosional dan psikologis saya terganggu. Jadinya, saya mengajak anak untuk ikut saya ke sekolah. Perasaan saya nyaman dan anak pun tenang.

Saya dan istri sama-sama adalah abdi negara sebagai PNS dalam peran yang berbeda. Saya seorang guru sekolah menengah atas dan istri adalah PNS di kantor Dinas Kesehatan kabupaten. Sejak anak pertama yang kini segera akan menginjak kelas 4 sekolah dasar, saya telah terbiasa mengasuh anak sambil menjalankan tugas sebagai guru PNS. Sekarang telah hadir anak kedua, saya pun masih mendapat kesempatan yang lebih banyak dalam hal mengasuh kedua anak kami.

Sebenarnya kami telah berbagi tugas dalam hal mengasuh anak. Namun, ternyata istri saya justru lebih terganggu pekerjaannya jika anak sering ikut bersamanya. Mengingat pekerjaan istri di kantornya lebih banyak turun ke lapangan, seperti ke puskemas, rumah sakit, rumah-rumah penduduk dan melakukan sosialisasi ke berbagai tempat. Belum termasuk ketika hampir setiap bulan istri keluar daerah mengikuti bimtek dan pelatihan.

Kami sendiri sudah berkomitmen untuk tidak mempekerjakan pengasuh anak di rumah atau menitipkan anak ke neneknya di kampung. Kami sepakat bahwa biarkanlah nenek dari anak-anak menikmati masa tua mereka. Toh, setiap ada waktu luang kami akan berkunjung ke kampung. 

Di samping itu, secara pribadi saya merasa lebih nyaman secara emosional jika mengasuh anak sendiri. Memang kadang kala pekerjaan akan terkena dampak sesekali manakala anak juga mengeskpresikan masa pertumbuhan dan perkembangannya. 

Seperti rewel saat lapar, buang air atau mengantuk. Namun, bagi saya itu adalah keseruan mengasuh anak. Saya sudah terbiasa tiba di sekolah ditemani anak dan seperangkat peralatan balita. Susu, termos air panas, popok, baju ganti dan selimut adalah tambahan isi tas ransel ke sekolah. Kasur balita pun sudah saya ready-kan di laboratorium bahasa ruangan tempat saya beristirahat seusai mengajar. 

Berangkat ke sekolah bersama anak-anak. Sumber: dok. pribadi.
Berangkat ke sekolah bersama anak-anak. Sumber: dok. pribadi.

Membawa anak masuk kelas telah menjadi hal biasa pula. Saya tak perlu cemas anak akan mengganggu para siswa. Anak sendiri sepertinya sudah terbiasa dengan suasana kelas. Maklum anak kedua saat ini sudah sering ikut saya ke sekolah sejak usia 4 bulan hingga kini menginjak usia 22 bulan. Mungkin pula karena saking dominannya anak ikut ke sekolah sehingga ia justru lebih populer dari bapaknya di kalangan siswa. 

Seru dan dag dig dug pula jantung saya ketika saya menidurkan anak di ruangan lab dan terdengar tangisannya yang membahana ke ruang kelas tempat mengajar. Sedikit berlari sambil membawa dot susu mengamankan tangisan anak. 

Memandikan anak, mengganti pakaian, memasak bubur, memberi makan anak, mengganti popok, dll telah menjadi hiburan saya selama kurang lebih hampir sepuluh tahun bekerja sambil mengasuk anak. Saya menganggapnya sebagai wisata keluarga juga. Karena seringkali pula saya diminta menjadi narasumber penulisan cerita anak dan workshop, anak saya ikut meramaikan. Mobil tua yang menjadi kendaraan pun sudah berubah menjadi rumah kedua saya dan anak-anak.

Intinya, saya menikmati peran sebagai ayah yang bekerja sambil mengasuh anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun