Sabtu, 25 Februari 2023 saya bersama keluarga besar istri saya menghadiri satu tradisi dan budaya Toraja "Mangrara Tongkonan."
Lokasi acara di kampung Leso, Buakayu, Kecamatan Bonggakaradeng, Kabupaten Tana Toraja. Ayah mertua saya adalah salah satu keturunan langsung dari keluarga yang telah membangun rumah tongkonan. Pea' dan Gena, demikian nama pasangan suami istri yang disematkan sebagai nama rumah tongkonan.Â
Terdapat tujuh anak dari Pea' dan Gena, yaitu Pabanei, Rakkang, Ine, Takke, Laja', Rongi, dan Alu'. Satu anak tidak memiliki keturunan, yakni Pabanei. Dalam bahasa Toraja, membujang disebut  tamanang (tidak memiliki anak/keturunan). Sementara 6 keturunan lainnya yang memiliki keturunan hingga ribuan jiwa bersama-sama membangun rumah tongkonan yang oleh rumpun keluarga disebut "Tokkonan Pangrarukna Pea' sola Gena." Kata tokkonan (bahasa Toraja etnik Bonggakaradeng/Toraja bagian barat) memiliki arti yang sama dengan tongkonan.
Ayah mertua saya lahir dari Ine yang menikah dengan Laso' Saung (tergambar dalam silsilah di bawah ini). Nenek ayah mertua 9 bersaudara. Ia lahir dari Atte yang menikah dengan Kambossik. Kemudian melahirkan Palin yang menikah dengan Puku. Dari pasangan inilah lahir ayah mertua sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Berdasarkan silsilah, anak sulung tidak ada yang mengingat namanya.Â
"Mangrara Tongkonan" atau "Mangrara Banua" adalah prosesi dan acara menaiki rumah adat tongkonan. Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja dengan atap menyerupai perahu. Dalam kehidupan sehari-hari, prosesi ini adalah mensyukuri rumah yang telah dibangun dan siap untuk dihuni.
Tradisi "Mangrara Tongkonan" dilaksanakan ketika sebuah rumah adat tongkonan telah selesai dibangun dan siap untuk dihuni. Rumah tongkonan, baru bisa menyelenggarakan upacara adat, seperti rambu solo' (kematian/kedukaan) dan rambu tuka' (syukuran dan pernikahan), teramasuk penyelenggaraan kegiatan sosial lainnya. Tongkonan juga memiliki fungsi sosial, seperti tempat rapat atau tempat pertemuan, baik untuk kegiatan rumpun keluarga maupun kegiatan pemerintah.
"Mangrara Tongkonan" terselenggara ketika telah ada kesepakatan dari semua rumpun keluarga. Kesepakatan ini memuat waktu pelaksanaan, ibadah dan ritual budaya di dalamnya.
Secara umum "mangrara tongkonan" identik dengan agama Kristen, Katolik dan Aluk Todolo (Hindu Toraja). Hal ini terkait langsung dengan pengadaan dan penyembelihan babi dalam ritual acara. Setiap rumpun keluarga menyerahkan satu ekor babi yang diletakkan dalam satu wadah mirip kandang yang disebut lettoan. Babi yang dibawa dalam lettoan adalah babi besar seharga puluhan juta rupiah. Lettoan diberi nama sesuai nama rumpun keluarga yang telah bersama-sama membangun rumah tongkonan.
Pada acara "mangrara tongkonan" yang saya hadiri kali ini memiliki keunikan tersendiri. Ada satu rumpun keluarga yang membawa lettoan berisi babi berasal dari komunitas Muslim. Salah satu keturunan tongkonan Pea' & Gena yang bernama Ba'dung, sebagian anggota keluarganya beragama Islam. Babi yang mereka bawa kemudian diangkat oleh keluarga beragama Kristen ke halaman rumah tongkonan.
Rangkaian prosesi "mangrara banua" berlangsung selama beberapa hari. Ritualnya di malam hari. Puncak acara adalah ibadah yang dipimpin oleh seorang pendeta Gereja Toraja. Pemandu acara secara adat yang disebut gora-gora tongkon memiliki peran yang sangat besar dalam menggerakkan seluruh ritual dan rangkaian acara.
Sebelum ibadah dilaksanakan, acara puncak diawali dengan arak-arakan "lettoan" memasuki pelataran rumah tongkonan (ulu ba'ba). Dilanjutkan dengan persembahan tari-tarian dan jamuan minum kepada semua orang yang hadir.Â
Prosesi menaiki rumah dan membuka pintu rumah tongkonan dilakukan oleh pendeta. Prosesi ini berada dalam satu rangkaian ibadah syukur. Sebelum pintu dibuka, pendeta memanggil semua rumpun keluarga untuk berdiri di depan rumah tongkonan.Â
Acara mangrara banua ini diwarnai pembagian beras dari tongkonan. Rumpun keluarga pun berebut untuk mengambil segenggam beras tersebut dan membagikannya kepada rumpun kelaurga masing-masing. Mereka mempercayai bahwa beras yang dibagikan ini akan membawa berkat dan keberuntungan bagi siapapun yang membawanya. Saya kebagian beberapa biji beras dan langsung saya makan.Â
Makan bersama menjadi pengisi puncak rangkaian acara mangrara banua. Daging yang telah dimasak dari puluhan babi dan seekor kerbau yang disembelih dibagikan kepada semua orang yang hadir. Khusus bagi keluarga Muslim mendapat daging kerbau. Semua rumpun keluarga yang hadir juga telah membawa bekal masing-masing. Kami membawa dua termos besar nasi beserta lauk dari ayam. Kami mendapat tambahan lauk makan 2 buah piong babi dan masing-masing satu irisan besar daging babi dan beberapa potongan daging kerbau.
Di sela-sela makan bersama, panitia mangrara banua juga melangsungkan prosesi pembagian daging babi secara adat Toraja di Bonggakaradeng. Wakil Bupati Tana Toraja, Kepala Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri dan Kapolres Tana Toraja menjadi pejabat yang diberi penghormatan berupa kaki babi. Selanjutnya daging babi juga diberikan kepada tukang yang mengerjakan rumah tongkonan, pemotong kayu di hutan, penjaga kerbau, camat Bonggakaradeng, pendeta, majelis gereja hingga ketua-ketua RT.Â
Sebagai penutup acara mangrara tongkonan kali ini adalah foto bersama keluarga secara bergantian di depan rumah tongkonan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H