Mohon tunggu...
Mas Ovic
Mas Ovic Mohon Tunggu... Lainnya - Gak tau

Driver gojek

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Transmigrasi 2 (Gagal)

28 Januari 2017   23:52 Diperbarui: 29 Januari 2017   18:31 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lanjutan dari artikel ini

Dari artikel di atas saya melihat apa yang terjadi di sekitar rumah banyaknya orang yang kemudian pindah ke tempat rantauan (pulau jawa), dan banyak pula perantau yang saya temui berasal dari sumatera (kebanyakan lampung dan sumsel). Saya akan berkisah tentang teman yang lahir di jogja ikut transmigrasi orang tuanya ke bengkulu, sekarang punya anak 4 beristri orang jogja. Dulu dia hanya bertiga pergi ke sumatera dan sekarang punya anak 4, jadi benar kan kata saya, bukan meratakan malah menambah kuota manusia di pulau jawa.

Saat datang di bengkulu, untuk membuka jalan saja harus ''membabat alas" yang kita tahu itu adalah kawasan binatang liar. Dua kali bertemu dengan harimau, bayangkan harimau ada di depan kita, dua kali.

Kejadian pertama saat menunggu sawah pada malam hari di gubuk, ayah teman saya menyalakan api unggun di depan gubuk untuk menghangatkan diri dan itu mengundang harimau datang. Namun tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, harimau itu sepertinya hanya "kebetulan" melintas saja, namun ayah teman saya sempat ngobrol dengan harimau itu, "mbah jangan ganggu saya, saya di sini cuman cari makan dan gak bermaksud mengganggu". Harimau itu tidak menjawab dan pergi begitu saja.

Kejadian kedua saat pulang dari mencari kayu bakar, di tengah jalan teman saya bersama ayah ibunya mendengar seperti ada suara auman yang terdengar seperti suara kendaraan, namun tidak mungkin di tengah hutan ada kendaraan, kan. Apa yang terjadi sebenarnya, ternyata suara auman harimau yang berada persis di belakang ketiganya. Kedua orang tuanya lari meninggalkan dia, dia sendirian di depan harimau itu. Namun tidak terjadi haal-hal yang tidak diinginkan, harimau itu juga lari begitu orang tuanya lari.

Itu bukan fiksi itu nyata senyata-nyatanya, hanya sedikit di lebih-lebihkan saja.

Jika ditanya apa yang harus dibenahi di sumatera, transportasi darat. Jika saya pulang dari bandung melalui jalur darat menggunakan bus harus berangkat kira-kira sampai di lampung itu harus pagi hari, karena jika sudah jam 4-5 sore sudah tidak ada bus yang jalan dari terminal rajabasa menuju daerah saya di kotabumi. Ada banyak alasan sebenarnya, tapi yang utama adalah takut di begal (rampok) di jalan. Adanya begal itu adalah bukti adanya ketimpangan sosial di negeri ini, karena nyari kerja susah akhirnya mengambil jalan pintas.

Saya punya cerita masa SMA, jarak dari rumah ke sekolah itu 20 km dan angkot yang mengangkut anak sekolah cuman satu, ada yang lain tapi yang bisa menyelamatkan untuk tidak terlambat ya hanya satu itu. Jika anda tahu, saya naiknya di atap atau kalau lagi beruntung nggantung di pintu angkot dan jika tidak beruntung tidak bisa naik angkot ini karena atap juga sudah penuh sesak pasti akan terlambat masuk kelas. Pertanyaan mengapa bisa telat, pasti kami jawab tidak ada angkot, kenapa tidak bangun lebih pagi, angkot yang satu itu adalah angkot paling pagi.

Namun sekarang sarana transportasi akan lebih mudah dengan pembangunan tol trans sumatera yang membentang dari lampung sampai aceh, semoga dengan adanya tol ini bisa lebih cepat menjangkau daerah-daerah terpencil. Namun tetap saja rasa aman berkendara di jalan belum ada yang bisa menjamin terbebas dari begal.

Cerita tentang begal, kalau bisa saya istilahkan di lampug itu, anda pergi naik motor di jalan dibegal, diam di rumah dirampok. Itu nyata terjadi saya tidak mengada-ada.

Istilah ketimpangan sosial yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin itu terjadi di mana-mana, tidak hanya di lampung dan sumatera saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun