Mohon tunggu...
OVANTUS YAKOP
OVANTUS YAKOP Mohon Tunggu... Guru - Mengolah Hati dan Budi Melalui Menulis

SDN ANAM SMP SWASTA KARYA RUTENG SMAK ST. FRANSISIKUS XAVERIUS RUTENG STKIP ST.PAULUS RUTENG

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stop Bullying! Budaya Kematian Fisik, Mental dan Kerohanian

21 Agustus 2024   00:23 Diperbarui: 21 Agustus 2024   02:10 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketiga, kematian rohani. Kematian rohani yang dimaksud adalah ia memandang Sang Pencipta "tidak adil" karena mengalami situasi hidup yang tidak nyaman dan damai. Ini membuka lebar pintu untuk menjauhkan diri dari Tuhan. Jika menjauhkan diri dari Tuhan, ada peluang untuk melakukan pemberontakan terhadap diri sendiri, orang terdekat, pelaku bullying dan lingkungan sekitar. Lantas, siapa yang bertanggung jawab?. Satu persoalan pun bertambah dan berkembang.

Sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan pasti kita tidak mau terlibat dengan status (pelaku bullying) dan juga sebagai (korban bulliyng). Kalau setuju beri respon positif di bawah tulisan ini atau dalam hati sebut "amin, sah, atau setuju.

Potret Realitas Kehidupan Sosial Masyarakat

Ada tipe manusia yang suka mengumpat dan mencari-cari kesalahan kecil serta mencari aib kita, keluarga atau lingkungan kita. Selanjutnya mereka menyebarkan dengan menambah kata-kata yang bukan fakta. Pelaku biasanya memposisikan diri seolah-olah jauh lebih baik dari pada orang yang dihina atau difitnahnya. Kalau tidak berlebihan faktor penyebabnya adalah iri hati. Iri hati karena status sosial, cemburu, tidak menerima kenyataan hidup dan kurang luas wawasan, serta senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang.

Ada pepatah mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati. Berikut adalah beberapa tawaran pencegahan dan penanganan Bullying.

Pertama, memiliki sikap berkepala dingin berhati teduh, tenang serta jangan mudah terpancing untuk bereaksi. Bereaksi yang dimaksud adalah "tidak muka merah, langsung loyo, langsung menghindar, dan tidak mau bangun komunikasi lagi dengan si pelaku. Disini korban mengedepankan rasa kemanusian yaitu "memaafkannya dan tetap berusaha untuk berdamai, meski hati terkeping-keping.

Kedua, mengajak si pelaku untuk dijadikan teman atau sahabat. Bisa saja, motifnya adalah ia ingin selaras dengan kehidupan si korban. Jika gagal, anda harus berefleksi kembali. Bahwa anda belum bisa menjadi pembawa damai.

Bagaimana kalau si pelaku setiap hari melalukan hal yang sama?. Ceritakan kepada orang tededekat seperti keluarga, guru di sekolah, tokoh-tokoh agama setempat. Jika tidak menemukan cara yang tepat tuntaskan masalahnya ke pihak berwajib yaitu ranah hukum.

Gulung, 21 Agustus 2024

Catatan: Refleksi penulis ditengah maraknya fenomena bullying di dunia nyata dan maya, yang melanda bumi pertiwi. Sebuah krisis moral kemanusiaan yang segera dicegah dengan mengedepankan asas kebijaksanaan dan kekeluargaan, dalam menjaga ketenangan dan kenyamanan bersama di tanah air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun