Mohon tunggu...
Ovan Setiawan
Ovan Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kangen teriak "Ayoooo!" tapi dari hati yang paling dalam │ @Ovansetia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi untuk Bapak

10 Desember 2011   17:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:33 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini kulihat bapakku duduk termenung di ruang tamu. Bersandar di kursi, pandangannya kosong menatap kedepan. Dari balik kain kelambu aku melihat mata yang sayu dan sedikit berkaca-kaca. Guratan wajahnya yang tak lagi muda menambah kesan duka. Jelas, duka yang sangat mendalam yang dirasakan oleh bapakku, aku dan kami yang ditinggalkan.

‘’Uuhh’’, aku menghela nafas dalam-dalam, tak tahan melihat kesedihan bapak, aku melangkah ke dalam kamar,hari ini adalah delapan hari meninggalnya ibuku tercinta. Kemarin malam adalah tahlilan tujuh hari ibuku. Sanak saudara yang biasanya berkumpul menginap dirumah pun kini sudah pulang kerumah masing-masing karena harus menjalani aktifitasnya. Tinggal aku dan bapakku dirumah.

Kurebahkan tubuhku dikasur, saat-saat terakhir menjelang hembusan nafas terakhir ibuku masih tergiang jelas dalam ingatanku. Betapa aku sangat panik pada waktu itu. Pikiranku melayang, aku tak siap kehilangan ibuku. Aku ingin melihatnya tersenyum bangga ketika aku lulus kuliah nanti. Harapanku sirna, ketika bantuan tabung oksigen tak mampu menyambung nyawa ibuku.

‘’Sreeeeeeeek’’, suara kelambu digeser membuyarkan lamunanku yang seketika mengingatkanku untuk selalu tegar dan menerima kenyataan, seperti kata teman-temanku. Aku keluar kamar, kulihat bapak berjalan ke arah dapur, langkahnya gontai, berdiri sejenak di depan pintu dapur.

Tiba-tiba aku teringat, pagi-pagi buta ketika aku masih malas untuk bangun sayup-sayup selalu terdengar suara sendok beradu dengan gelas, itu adalah suara ibuku membuatkan kopi untuk bapak. Kini tak lagi kudengar suara itu, mungkin seminggu yang lalu adalah yang terakhir kalinya aku mendengar suara itu, sebelum ibu membangunkanku untuk sholat subuh, “van tangi le, wis subuh’’

***

Sayup-sayup suara orang mengaji selepas sholat subuh masih terdengar. Aku menuangkan air mendidih dalam gelas, air berubah menjadi hitam pekat, aroma kopi  terbawa dalam uap yang menerobos dalam hidung. ku aduk perlahan. Aku taruh di atas meja dapur, itu adalah segelas kopi untuk bapakku. Memang aku yakin tak se dahsyat rasa kopi yang dibuat almarhum ibuku, tapi dibalik itu, aku tak ingin aroma hangatnya pagi lenyap dari hari-hari bapakku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun