Mohon tunggu...
Gana Outnspoken
Gana Outnspoken Mohon Tunggu... -

the nekkid linguist. the mischievous grammarian.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahas Ah.

8 November 2013   18:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:25 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Prakata:

Konten tulisan ini seutuhnya aku sadur dari blogku: outnspoken.wordpress.com

Kali ini aku akan menuliskan isi kepalaku seutuhnya dalam bahasa Indonesia—bahasa ibuku. Dan bapakku.

Nggak deng… Bapak gue ngomong Batak.

Hidup di jaman yang serba digital, menggapai dunia melalui sentuhan—dalam denotasinya—mudah sekali kita memperoleh informasi yang bertebaran di dunia maya. Informasi yang tersampaikan juga jauh lebih cepat.

Salah satu informasi yang aku dapatkan hari ini adalah sebuah tulisan dari seorang pemotivasi/guru besar FEUI yang bagaikan oase seperti yang tertulis di Kaltim Post mengenai profil singkatnya.

Di artikel ini dia menuliskan pentingnya kemampuan berbahasa lebih dari satu dan kaitannya dengan kemampuan kognitif seseorang. Secara keseluruhan bagus pesan yang dia coba sampaikan. Namun menyampaikan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa dagang? Mungkin iya, salah satunya, tetapi memosisikannya di situ jelas kurang pas.

Aku berbahasa Inggris dengan klien bisa saja dianggap sebagai kegiatan berdagang, walaupun tidak sepenuhnya begitu. Aku menggunakan bahasa Inggris dengan mereka, dengan teman-temanku sesederhana karena bahasa Indonesia bukan bahasa utama mereka atau sekadar ingin mempraktikkan kelancaran lidahku melafalkan bahasa keduaku itu.

Betul ketika seseorang bisa lebih dari satu bahasa kemampuan otaknya untuk berpikir, menentukan sebuah keputusan, dan memosisikan dirinya pada sebuah komunitas pasti lebih baik. Tidak mungkin di tengah rapat direksi istilah bahasa gaul semacam gue, elu, atau bahkan cyin pantas untuk dipergunakan. Ya keleus…

Di saat itulah sesorang mempergunakan otaknya untuk berpikir lebih kuat lagi dan memilah kata-kata di kepalanya. Dengan kata lain otaknya lebih sering terlatih—harapannya, ke depannya jadi lebih pintar.

Tetapi entah apa yang sedang dipikirkan pak Rhenald saat menuliskan artikel ini. Seolah isi kepalanya terburai bertaburan berserakan di saat menentukan diksi yang pas untuk mewakili kekuatan tulisannya sendiri.

Padahal pada kata thinking yang dia tuliskan dia juga menyertakan terjemahannya di dalam bahasa Indonesia. Begitu juga reasoning, define, dan seterusnya. Lalu, apa yang menahan bapak untuk menuliskannya langsung saja dengan bahasa Indonesia, pak? Di saat yang sama, dia menutup tulisannya dengan menyindir Vicky dan Cinta Laura. Kurang Agnes Monica saja sih, pak. Dan pak pesindennya si sby. Mungkin lupa. Mungkin bapak juga lupa kalau bapak sudah ketularan mereka melalui tulisan bapak.

Tunggu, pemirsa, tulisan ini bukan untuk mendukung Vicky, Cinta, Agnes, atau ribuan siswi sekolah London yang fasih berbahasa Inggris yang seolah ingin meyakinkan dunia bahwa mereka adalah makhluk cerdas karena diberkahi kemampuan dwi bahasa.

Entah sebenarnya pesan apa yang coba pak Rhenald sampaikan melalui tulisannya ini. Apakah untuk murid-murid di kelas ekonominya? Pengunjung kelas motivasinya? Atau sekadar mengagumi saja mendengar banyak manusia Jakarta yang sok berbahasa Inggris. Atau mungkin kemampuan kognitif aku saja yang sedikit kurang.

Terus terang, aku lebih tercengang dan tertarik membaca penelitian seumur hidupnya Tiza Mafira mengenai hal serupa di Jakarta Globe: Confessions of a Lingo-Mixaholic. Kontennya sangat intens, bergelora, dan sangat emosional bagi aku yang lulus cum-laude sastra dan masih menggeluti bidang penerjemahan.

Jujur saja, aku tiba-tiba terpikir untuk membahas persoalan pelik ini karena tadi ada tiga orang yang ikut naik lift di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Senayan dan sibuk mengobrol menggunakan bahasa Inggris. Yang semrawut.

…I'm like… a lot, sometimes… kira-kira begitulah apa yang si mbak sampaikan. Dengan penampilannya yang menggunakan baby-doll merah muda, dandanan cantik, diapit kedua temannya yang juga tampak berkelas mahal… Neng, kamu drop di mata abang. Gagal sudah usahamu untuk terlihat intelek.

Intinya, tulisan ini bukan untuk mengecilkan hati atau mematahkan semangatmu untuk melatih bahasa Inggrismu [di tempat umum] kok. Atau bahkan menegaskan bahwa otakmu tidak pintar karena hanya bisa berbahasa Indonesia saja. Justru jadikan ini sebagai semangatmu untuk berusaha menyempurnakan penggunaan bahasa asalmu terlebih dahulu dengan baik dan benar—sesuai dengan kaidah dan faedahnya.

Misalnya nih ya; E-KTP. Di dalam bahasa Indonesia itu tidak ada. Mana yang benar: KTP elektronik atau electronic KTP? Nah, dengan begini kamu pelan-pelan mulai melatih kemampuan kognitif otakmu kok. Di saat yang sama juga melestarikan bahasamu.

Siapa lagi kalau bukan kita? Nanti bingung ditanya pak Rhenald di mana SPIRIT Sumpah Pemudamu.

Sebelum kamu bosan dengan tulisanku yang terkesan kaku karena terus menerus menggunakan aku alih-alih sahaya, coba kamu cari tahu lagi deh. Mungkin kamu akan terkejut selama ini memosisikan dirimu sebagai hamba dengan menggunakan kata 'saya' :)

Sekarang kalau aku tanya apakah bangsamu E-ndonesia ada yang mau ngaku, nggak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun