Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ada Apa di Balik Emas Olimpiade 2020 Jepang?

16 Februari 2018   21:26 Diperbarui: 17 Februari 2018   09:26 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Reuters/Toru Hanai

Ini bukan sekedar teori. Tapi, sebuah fakta yang nyata dan sudah lama dilakukan. Ya, emas didulang dari tumpukan sampah, tepatnya "didulang" dari sampah elektronik. Berita-berita menarik tentang itu ramai diungkap oleh berbagai media di di awal dan pertengahan tahun 2017. Namun, sedikit sekali yang mengungkap bahwa di balik itu ada tak hanya sarat dengan "perlombaan teknologi" daur ulang, namun juga investasi antar negara maju.

Namun, logam mulia tetaplah logam mulia tak peduli darimana asal dan bagaimana proses menambangnya. Disebut demikian karena sifat sulitnya untuk korosif dan teroksidasi.

Uraian berikut tak membahas suatu pertanyaan yang logis "Apakah logam mulia akan cenderung turun nilai ekonominya karena sebagian produksinya dari sampah?", namun lebih pada summary persaingan antar negara maju dalam mendaur ulang sampah elektronik (electronic waste atau e-waste).

Yang patut dicatat bahwa produksi emas yang selama ini diketahui didulang dari penambangan, namun itu bukan lagi satu-satunya cara, akan ada cara lain untuk mendapatkannya: dari tumpukan sampah dengan teknologi yang --diyakini-- semakin mudah dan murah.

Emas yang didulang dari tumpukan sampah ekeltronik sudah mulai diperhitungkan kapasitas produksinya. Penambahan cara daur ulang "penambangan" ini tentu saja dipengaruhi bukan karena tambang emas yang ada tidak mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan manusia akan emas, namun lebih pada "solusi atas masalah pelik sampah" yang mendasarkan pada koridar Reuse-Reduce-Recycle.

Sampah abad-20 saat ini sudah dirasakan pengaruh buruknya oleh pembuangnya, yaitu manusia itu sendiri. Sampah membanjiri bumi dan membuat masalah tak hanya soal lingkungan, namun juga soal kesehatan. Sampah selalu meningkat sesuai dengan jumlah populasi manusia dari waktu ke waktu. Oleh karena ada problem itukah, manusia pun berkreasi meminimalkan pengaruh buruk sampah. Kreasi itupun memunculkan berbagai teknologi pengolah sampah. 

Dengan teknologi tertentu sampah organik diubah menjadi biogas dan pupuk cair, sampah anorganik menjadi bahan bakar energi. Tak berhenti sampai disitu sampah elektronik seperti prosesor, RAM, harddisk, motherboard, atau mainboard, PCB handphone, PCB komputer, Integrated Circuit (IC), kartu chip handphone dan lain-lain,yang selama ini hanya menjadi tumpukan yang berbahaya bagi lingkungan, mulai dilirik dan diminati justru oleh negara maju yang selama ini membuangnya ke negara ketiga.

Sampah elektronik (electronic waste atau e-waste) didaur ulang, dipisahkan kandungan logam mulianya, diproses dan diambil salah satu ya logam mulia emas.

Di Amerika Serikat, the Trump Administration memulai dengan membalikkan keputusannya untuk mendanai ulang program Departemen Energi yang berfokus pada teknologi daur ulang. Daur ulang sudah mendukung lebih dari 750.000 pekerjaan di Amerika; Investasi difokuskan untuk menciptakan sumber baru bahan baku yang berkelanjutan akan menciptakan lebih banyak.

Pada saat yang bersamaan, sektor swasta harus bekerja lebih erat dengan para pendaur ulang untuk mengembangkan teknologi bersih dan metode yang akan terus didaur ulang lebih dekat ke rumah. Program swasta seperti Closed Loop Fund di A.S. memfasilitasi investasi dalam teknologi semacam itu untuk perusahaan swasta dan pemerintah daerah, dan mereka mendapatkan dukungan korporat yang lebih luas.

Tak hanya di AS, selama hampir 30 tahun negara Tiongkok --negara berpenduduk terbesar di dunia itu mendaur ulang lebih banyak kotak kardus, botol plastik dan komputer tua daripada negara lain. Dimana kegiatan ini menghemat jutaan ton sumber daya dan secara tidak langsung mendanai ribuan program dan perusahaan daur ulang secara global.

Juga, Tiongkok menyadari bahwa kebutuhan akan gadget ponsel meningkat dengan pesat. Pabrikan ponsel setiap saat mengeluarkan update edisi terbaru dan tercanggih, sehingga  hal ini juga berarti sampah ponsel   out of date  meningkat dengan pesat.

Adam Minter (2017) menyebut "menambang" sebuah ponsel tua untuk emas atau logam langka lainnya jauh lebih murah daripada menggali tambang, terutama jika tenaga kerja murah dan pengendalian lingkungan terbatas. Produksi emas Tiongkok luar biasa: pada puncaknya, zona pengolahan limbah terkemuka di negara tersebut menghasilkan 20 ton emas dari elektronik lama setiap tahunnya. Itu kira-kira sama dengan 10 persen produksi emas bekas tambang USA pada tahun 2016.

Industri daur ulang Jepang tak mau ketinggalan, dengan dukungan Pemerintahnya, mereka mematok program jangka panjang untuk penelitian, beberapa perusahaan terbesar di Jepang bergerak untuk menggunakan teknologi di dalam dan luar negeri yang akan menggantikan beberapa sistem daur ulang berbiaya rendah dan polusi yang banyak digunakan di Tiongkok.

Sebagai contoh, Mitsubishi Material tak kurang menginvestasikan lebih dari USD 100 juta untuk pabrik "penyulingan" logam mulia yang ditujukan untuk elektronik dan - ke masa depan - baterai mobil lithium-ion. Awalnya, Mitsubishi akan fokus ke Jepang, namun akhirnya juga berencana membuka pabrik di Belanda, di mana akan berada pada posisi untuk mengelola setidaknya beberapa limbah elektronik Uni Eropa yang selama ini dibuang ke Tiongkok.

Tentu saja, penelitian dan investasi pada skala itu tidak murah atau berjangka pendek. Mitsubishi Material, untuk satu lain hal, tidak berharap untuk memiliki pabrik yang baru diumumkan beroperasi sampai tahun 2021. Namun begitu, bahan baku yang berasal dari pabrik tersebut akan diperdagangkan bebas di seluruh dunia. Produsen dari Tiongkok, yang sekarang terpaksa mengimpor bahan-bahan tersebut, akan menghadapi biaya yang lebih tinggi dan daya saing yang lebih rendah, sementara Mitsubishi dan Jepang menikmati keuntungan ekonomi dan lingkungan yang luas. Memang, prospeknya begitu cerah sehingga panitia Olimpiade 2020 pun mengatur medali emas, perak dan perunggu untuk Olimpiade dibuat dari limbah elektronik yang dihasilkan oleh Jepang.

Pada akhirnya, negara-negara maju saat ini tak lagi repot dan sibuk membuang sampah elektronik keluar negara mereka ke negara-negara yang masih tertinggal. Itu paradigna kuno, kini mereka berkepentingan pada sampah elektronik yang mereka produksi . Daur ulang adalah frasa kunci dalam hal itu. Dengan itu mereka mendapatkan logam mulia, selain memberikan solusi total pada sampah elektronik yang merusak lingkungan dimana mereka tinggal,

Bagaimana dengan Indonesia? Uraian alasannya cukup singkat dan penuh ironi: Indonesia bukan negara maju. Pemerintahnya pun tampaknya memandang masih belum perlu merilis kebijakan yang mendukung program daur ulang sampah, apalagi untuk berinvestasi. Mereka masih sibuk pergi kesana kemari bingung memikirkan siapa yang punya teknologi dan siapa yang mau membayar sampah mereka. Heheheh......., emang  siapa yang mau bayar sampah Indonesia yang masih dalam "level masalah"?

-------mw-------

Ditayangkan juga di Penatajam.com dengan judul "Di Balik Medali Emas Olimpiade 2020 Jepang yang Didulang dari Sampah"

Sumber gambar disini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun