[caption caption="Ngapain Urus yang Mati? Memang Kurang Kerjaan?"][/caption]
Sangat jarang kita memikirkan mati. Walaupun kita tahu bahwa kita semua pasti akan mati. Kapan, dimana, dalam keadaan apa, lalu setelahnya apa? Seringkali kita tidak perduli. Saya juga demikian. Saya jarang sekali memikirkan kematian.
Salah satu pembenaran atau argumen yang bisa kita kemukakan untuk tidak perlu mengingat kematian, ya karena ada hadits nabi "Bekerjalah kalian seakan-akan kalian hidup selama-lamanya".
Tak salah kita mengerjakan urusan dunia, namun kita menjadi salah jika kita tak memikirkan sekali saja tentang kematian kita.
Apakah kematian memang suatu hal yang tabu? Saya tidak tahu persis. Yang jelas memang saya jarang sekali mengingat akan kematian.
Coba bayangkan jika kita mengingat kematian pada saat kita sedang bekerja untuk urusan duniawi kita misalnya di tengah negosiasi "closing deal" atau sedang menerima pembayaran bernilai jutaan dollar, atau situasi penting lain pasti semua segera kita tinggalkan. Kita akan segera ibadah saja untuk bekal kita mati. Cukup beralasan untuk meninggalkan semua urusan itu karena setelah kita mati semua itu tidak kita bawa, semua yang kita upayakan kita tinggalkan. Siapapun sebutannya, itulah yang akan menikmati hasil kerja keras kita: orang tua, anak, pasangan dan saudara kita.
Siang tadi saya shalat Jumat di masjid di sebelah gang di pondokan saya tinggal di kota Sangatta. Seperti biasa (Astaghfirullah) saya berangkat setelah mendengar adzan. Saya membiasakan (yang buruk) berangkat ke masjid setelah mendengar adzan (setan memang luar biasa)!!
Saya kali ini tidak tidur seperti biasanya (Masya Allah!) setelah shalat tahiyyat masjid, saya mencoba menyimak khatib menyampaikan khutbahnya.
Saya tertegun mendengar kalimat tanyanya yang terucap, siapa yang akan menshalatkan kita setelah kita mati?
Pertanyaan yang mudah jawabannya bagi kita yang masih hidup. Saudara, anak, orang tua, pasangan kita, tetangga atau siapa saja MUNGKIN saja menshalatkan jenazah kita. Shalat jenazah memang urusan fardhu kifayah --kewajiban yang gugur jika satu saja di antara kita yang melaksanakan kewajiban itu.
Namun yang paling mungkin yang terutama menshalatkan kita adalah orang tua kita, anak-anak kita, pasangan kita dan atau saudara kita.
Saat ini kita dalam posisi apa? Menjadi orang tuakah, menjadi anak, menjadi suami/istri, atau menjadi saudara? Apapun posisinya: sudahkah kita belajar shalat jenazah?
Mungkin di antara kita sudah rutin dan hapal shalat fardhu, bahkan shalat sunnah tak ditinggalkan, namun untuk shalat jenazah bisakah kita melakukannya dengan baik dan benar?
Ngerikah jika kita belajar shalat jenazah? Banyak pertanyaan jika kita tiba-tiba belajar shalat jenazah, atau menyuruh anak kita belajar shalat jenazah. Kok, belajar shalat jenazah sich, apakah ada yang mau mati? Kok, shalat jenazah? Apa tidak ada shalat yang lain? Shalat jenazah? Khan ada yang ngurus jenazah di RT kita?
Jadi, shalat jenazah begitu menimbulkan banyak pertanyaan jika kita atau yang lain belajar melakukannya dengan baik.
Betul memang. Ya karena itu tadi, kita jarang mengingat kematian, karena kita asyik sekali mengerjakan pekerjaan kita. Mengurusi dunia.
-------mw-------
*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia.
**) Intisari khutbah Jumat siang hari tadi sebuah masjid di Sangatta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI