Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menolak dan Menghidupkan Pasal Penghinaan: Adu Domba Eksekutif - Yudikatif

10 Agustus 2015   19:18 Diperbarui: 10 Agustus 2015   19:18 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa dibayangkan bahwa kedua lembaga itu saling berargumen. Minimal argumen pihak eksekutif adalah keinginan menjaga martabat dan harga diri presiden. Kebebasan berpendapat harus beretika. Di pihak lain yudikatif minimal akan berargumen bahwa pasal itu sudah dicabut oleh amar keputusan tertinggi lembaga peradilan di tahun 2006. Keputusan itu adalah keputusan tertinggi, final dan serta merta. Tentu akan terjadi adu kuat argumen, adu lobi, adu pengaruh politik akan dilakukan oleh keduanya demi mempertahankan kepentingannya.

Tentu saja adu apapun dari keduanya dalam situasi yang wajar sesuai aturan dan perundangan bisa dibenarkan, namun sepertinya "permusuhan" keduanya ini tampaknya sengaja diatur dan disetting. Tujuan antaranya adalah menjauhkan hubungan antara eksekutif dan yudikatif. Apalagi pasal penghinaan ini jauh-jauh sebelumnya sudah disuarakan ditolak oleh legislatif yang notabene dikuasai oleh koalisi lawan politik plus teman politik yang kecewa. Dengan renggangnya hubungan eksekutif dan yudikatif tersebut akan memuluskan tujuan akhir aktor intelektual itu yaitu memuluskan proses pemakzulan presiden denga isu lain yang akan dilemparkan setelahnya.

Coba saja lihat kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal 10 ayat (2) MK di dalam hal pengambilan keputusan hukum yakni dalam hal memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPR. Amar putusan MK atas pendapat DPR sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak diterima apabila tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.

Jadi ada untungnya jika hubungan antara eksekutif dan yudikatif renggang. Yudikatif akan membenarkan dan memudahkan apa yang akan dituduhkan oleh legislatif untuk pemakzulan eksekutif.

Celakanya isu menghidupkan pasal penghinaan ini justru didukung oleh pendukung Jokowi. Dukungan ini menurut saya sudah sama halnya dengan pernyataan bahwa hinaan itu hiburan: kebablasan. Tampaknya "aktor intelektual" dibalik isu ini akan berhasil, jika presiden juga turut mendukung untuk menghidupkan pasal penghinaan ini. Namun, sebaliknya isu ini menunjukkan kegagalannya: Presiden tidak terpancing untuk mendukung penghidupan pasal ini.

-------mw-------

*) Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun