[caption id="attachment_304563" align="aligncenter" width="300" caption="Pesta Malam Bersama Tiga Geisha di Tokyo"][/caption] "Geisha?" Nakamura mengulang kata dari mulut saya itu sekali lagi. "Ya Geisha, bisa nggak?" tanya saya sedikit mendesak Nakamura. "Kamu yakin dengan permintaanmu itu?" Nakamura seolah tidak percaya."I am sure with my request, bisa nggak itu geishanya?" tanya saya lagi tak sabar. Yang saya desak menghela nafas panjang. Bebarapa detik kemudian dia menelepon menggunakan "handphone"nya. Saya lihat wajahnya agak memerah tak kuasa menolak permintaan tak biasa dari saya. Saya tidak tahu apa yang dia bicarakan, menunggu saja dengan sabar. Sepuluh menit berlalu. Nakamura masih tidak menjawab permintaan saya itu. Dia terus menelepon. "Miyabi?" tanya Nakamura sambil senyum yang dibuat nakal. "Apa? Maria Ozawa? Nggak mau. I need real Geisha not prostitutes lady, Nakamura-san," jawab saya tegas. Setelah hampir tiga puluh menit dia menelepon, "Berapa orang "you" mau?" tanya Nakamura. "Tiga orang..!" jawab saya mantab tanpa ragu. Saya betul-betul penasaran. Saya penasaran dengan film "Memoirs of Geisha" besutan Steven Spilberg di tahun 2005. Saya nonton tidak hanya sekali film ini. Film yang membuat silang pendapat di China dan Jepang terkait peran Zhang Ziyi artis beretnis Cina yang memerankan Chiyo Sakamoto seorang gadis muda Jepang yang dijual oleh keluarganya ke "okiya," rumah geisha. Keluarga barunya kemudian mengirim dia ke sekolah untuk menjadi geisha, gadis yang sangat terampil dalam budaya Jepang, terampil menyanyi, menari, membaca puisi dan bermain. Terminologi geisha yang diajarkan oleh guru Jepang saya berbeda dengan geisha yang digambarkan dalam film yang disutradarai oleh Steven Spielberg tersebut. Geisha adalah artis serba bisa, mereka ahli dalam menghibur, bukan menghibur di tempat tidur. Tapi yang membuat penasaran saya bukanlah terminologinya, tapi kemampuan menghibur geisha ini yang membuat saya ingin menyaksikan langsung bagaimana mereka menyajikan kemampuan artisnya. Di depan mata, saya ingin mereka menari dan memainkan "shamisen" yang melankolis yang diiringi dengan "flute". Saya ingin melihat lemah gemulainya lambaian tangan mereka dalam tarian-tarian yang penuh makna. Dan tentu saja saya ingin tahu rahasia riasan "wajah putih" mereka. Saya tak ingin hanya melihat di layar perak atau layar kaca. Keingintahuan ini saya ungkapkan ke sahabat saya, Nakamura. Tentu saja dia terkejut. Tapi tak urung juga dia menyanggupi. Entah gimana caranya, saya betul-betul tak mengerti. Nakamura menjelaskan bahwa dia meminta temannya yang bekerja di salah satu "shoji" besar untuk memenuhi permintaan saya. Tiga hari dari permintaan saya tentang geisha itu, sekitar jam 8pm saya dan Nakamura datang ke Imahan Restaurant di daerah Asakusa. Restoran yang menurut Nakamura didirikan tahun 1895. Kami pun memasuki "sunken kotatsu," setelah ber"hajimemashite" dengan teman-teman Nakamura, kami pun asyik menikmati hidangan seragam "shabu-shabu gozen" dan menikmati tarian gemulai tiga geisha. Saya betul-betul menikmati tarian mereka penuh simbol-simbol. Di akhir acara itu kami tak lupa berfoto ria dengan mereka. Arigato gozaimasu Nakamura san. *) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia. **) Semua foto adalah dokumen pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H