[caption id="attachment_316345" align="aligncenter" width="599" caption="Jokowi - Ryamizard Ryacudu"][/caption]
Siapa calon wakil presiden Jokowi? Ini adalah pertanyaan yang menarik sekaligus menggelitik. Beberapa hari setelah pendeklarasian Jokowi sebagai capres PDIP 14 Maret 2014, spekulasi siapa pendamping Jokowi terus bergulir. Sementara itu nama-nama yang muncul dari kalangan sipil muncul nama mantan Wapres Jusuf Kalla, Ketua Wantim Golkar Akbar Tandjung, dan bos CT Corp Chairul Tanjung. Sedangkan dari kalangan militer terdapat nama mantan KSAD Jenderal (Purn) TNI Ryamizard Ryacudu, serta dari kalangan birokrat yakni Menteri Perekonomian yang juga Ketum PAN Hatta Rajasa, dan kalangan politisi Yusril Ihza Mahendra.
Adalah menarik di antara para calon itu disebut nama Ryamizard Ryacudu. Ia saat ini seorang sipil yang mantan KSAD Jenderal (Purn) TNI. Dimasukkan nama mantan KSAD ini semakin menegaskan bahwa militer tidak bisa lepas dari kepemimpinan nasional tertinggi di Indonesia. Dan tampaknya akan terus berulang.
Sejarah kepemimpinan Indonesia memang tidak lepas dengan isu militer-sipil, walaupun sejak reformasi Indonesia menganut demokrasi. Muradi (2007) menyebut negara demokrasi mengambil sikap dan menganggap keterlibatan militer dalam penyelenggaraan negara, baik langsung maupun tidak langsung telah memberikan efek negatif bagi berkembangnya demokrasi di Indonesia, maupun belahan dunia lainnya. Irama demokrasi menjadi tidak dalam porsi yang selaras dengan hakikat penyelenggaraan Negara. Watak tentara yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip demokrasi membuat negara yang memiliki kecenderungan keterlibatan militer yang tinggi seperti Indonesia, Aljazair, Myanmar, dan beberapa Negara di Afrika dan Amerika Latin terkungkung oleh rezim otoriter; baik yang didukung oleh militer ataupun jenderal militer yang menjadi rezim itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia menurut Muradi alasan yang mengemuka dengan terus dilibatkannya militer adalah pertama militer telah berjasa dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Kedua, komitmen untuk menjaga integrasi bangsa dan Negara. Komitmen ini selaras dengan keinginan dari militer untuk dapat dilibatkan dalam segala yang berhubungan dengan integrasi bangsa.
Ketiga, kelemahan politisi sipil tersebut ditujukan dengan membangun dan mengajak militer masuk ke dalam gelanggang politik. Kelemahan ini makin mengemuka apabila makin meruncingnya konflik antar politisi sipil sendiri.
Keempat, desakan dari internal militer untuk mengambil alih ataupun ikut terlibat dalam politik pemerintahan, karena pemerintahann yang berkuasa cenderung korup dan membawa bangsa kearah yang membahayakan keutuhan dan integrasi bangsa. Desakan ini bentuknya beragam, namun secara umum ada dua pola, yakni; melakukan kudeta atau pengambilalihan kekuasaan, dan melakukan negoisasi dengan politisi sipil. Akan tetapi dari dua pola tersebut banyak yang dilakukan oleh militer untuk ikut terlibat dalam politik pemerintahan dengan melakukan kudeta.
Kelima, bila rakyat menghendaki. Alasan ini terasa klise dan absurd, namun kenyataannya bahwa banyak dari masyarakat di belahan dunia lainnya masih berharap agar militer dapat meluruskan dan membuka ruang kesejahteraan dan ketentraman bagi masyarakat.
Pemilihan Ryamizard Ryacudu bisa diduga terkait dengan keputusan blunder MK sebagaimana dinyatakan oleh Yusril Ihza Maendra, sebagai berikut:
"Kali ini Mahkamah Konstitusi (MK ) lagi-lagi bikin putusan blunder. Di satu pihak nyatakan beberapa pasal UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945, setelah itu menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi, menyatakan pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya. Padahal, MK tahu bahwa “putusan MK itu berlaku seketika setelah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.”