Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membongkar Koalisi "Tenda Besar" Prabowo: Kesulitan Besar, Sinyal Kekalahan Prabowo Kedua?

16 April 2014   16:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 1513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_320201" align="aligncenter" width="546" caption="Jempol Prabowo Yang Kalah dengan Kelingking Jokowi"][/caption]

Sumber Gambar

"Dia ingin meneruskan obsesi Pak SBY untuk menerapkan politik harmoni," kata Siti Zuhro di Hotel Atlet Senayan, Jakarta, Minggu (13/4/2014). Siti Zuhro pengamat politik LIPI berkomentar mengenai Koalisi Tenda Besar Partai Gerindra.

Meski demikian, kata dia, Gerindra berpotensi tersandera dalam parlemen seperti yang pernah dialami SBY. "Jangan terulang lagi koalisi pelangi dan koalisi gemuk, harus ada chemistry. Jangan hanya jumlah partainya banyak, tapi visi misinya belum cocok," katanya.

Sebelumnya, Partai Gerindra ingin membentuk koalisi gemuk dengan merangkul banyak partai politik. Gerindra menyebutnya dengan koalisi "Tenda Besar". Sumber disini.

Masih ingat tulisan saya Makna Tersembunyi Kelingking Jokowi dan Jempol Prabowo yang ditayangkan di Kompasiana pada 9 April 2014?  Dalam tulisan tersebut sebagaimana kita lihat faktanya bersama bahwa sinyal kemenangan PDI Perjuangan terhadap semua partai termasuk Partai Gerindra terbukti. Kelingking Jokowi yang dicelup tinta benar-benar mengalahkan jempol Prabowo yang dicelup tinta setelah mencoblos. Dalam suatu permainan apapun untuk menentukan siapa yang kalah dan menang bisa menggunakan pingsut atau sut yang dipahami oleh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semut atau kelingking mengalahkan gajah atau jempol. Juga bisa dikatakan si kurus kelingking mengalahkan si gemuk gajah.

"Ah kebetulan?" Terhadap kebenaran itu setiap orang yang tak setuju berkata begitu sambil mencibir kepada saya. Saya tersenyum saja, kebetulan atau tidak, faktanya makna tersembunyi itu menjadi nyata dan benar adanya.

Jokowi telah memenangkan PDI Perjuangan dengan perolehan suara 19,24% (versi quick count Litbang Kompas per 16 April 2014 pukul 06.47pagi), sedangkan runner up diduduki oleh Partai Golkar 15,01% dan tempat ketiga ditempati oleh Partai Gerindra 11,77%.

Untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres, semua partai pemenang tersebut harus berkoalisi sehingga total perolehan suara koalisi itu minimal 25% sesuai Undang-Undang No. 42 Tahun 2008. Dengan perolehan suara (dibulatkan sesuai kaidah) 19% PDIP memerlukan kerja lebih ringan dibanding Partai Golkar 15% dan Partai Gerindra 12%. Golkar memerlukan minimal 11% tambahan, sedangkan Partai Gerindra perlu kerja keras untuk mencari tambahan yaitu minimal 14%.

Perhatikan angka 14% adalah lebih besar dari perolehan suara Partai Gerindra sendiri yang hanya sebesar 12%. Hal ini bisa diartikan bahwa nilai tawar Gerindra lebih rendah dibandingkan dengan total suara yang diperlukan. Gerindra harus memberikan kompensasi LEBIH BESAR kepada partai-partai yang diajaknya berkoalisi. Karena itu, Partai Gerindra dan Prabowo menyebutnya koalisi yang ingin dibentuk disebut TENDA BESAR dan cara mencari partner koalisinya pun seperti dikatakan oleh detik.com adalah koalisi senyap. Lihat judul berita detik.com yang berjudul Prabowo koalisi senyap, Jokowi wira-wiri yang dimuat pada Selasa, 15 April 2014.

Dalam tulisan tersebut dilaporkan bahwa Fadli Zon juga masih sempat mencibir cara Jokowi yang wira wiri mencari partner koalisi dengan mendatangi kantor pusat partai di wilayah Jakarta. Dan faktanya cibiran Fadli Zon itu bak doa kepada Jokowi. PDI Perjuangan mendapatkan hasil: koalisi dengan Partai Nasdem dan tambahan koalisi PKPI, partai yang memperoleh suara paling kecil. PDIP dengan Nasdem dan PKPI sudah pasti mengusung Jokowi sebagai calon presiden dengan total suara perolehan koalisi memenuhi syarat minimal 25%. Jokowi dan PDI Perjuangan sudah memimipin di depan selangkah dibanding Partai Gerindra --yang selalu memusuhinya-- dengan lebih berkonsentrasi memilih cawapresnya. Sedangkan Partai Gerindra masih pusing berkutat dan bernegosiasi dengan partai lain untuk berkoalisi.

Angka perolehan 12% bagi Partai Gerindra memaksanya untuk berkoalisi dengan minimal dua partai, masing-masing partai papan tengah nilai perolehannya jika berkoalisi dengan Partai Gerindra, misalnya Partai Demokrat (9,43%) masih kurang dari angka minimal 25% agar bisa mengusung pasangan capres-cawapres. Demikian juga halnya jika koalisi dengan PAN (7,51%), PKB (9,12%), dan PKS (6,99%). Padahal semua partai papan tengah tersebut mematok untuk bisa mendampingi Prabowo yaitu sebagai cawapres. Pusing tujuh keliling dan menghadapi kesulitan besar tampaknya partai yang membenci Jokowi dan PDI Perjuangan ini.

Negosiasi akan berlangsung alot, karena semua partai papan tengah ingin tokohnya menjadi cawapres. Partai Demokrat karena tak ingin malu dengan peserta konvensi, SBY mematok cawapres, PAN Hatta Rajasa ingin juga menjadi cawapres karena ia menjadi menko saat ini, PKB dan PKS pun demikian adanya. Jika Partai Gerindra menjadikan Hatta Rajasa menjadi cawapres, Partai Demokrat, PAN dan PKS jelas tak akan mau menjadi partner koalisi, mendapatkan bagian menteri saat ini tidak strategis karena menteri aktif pun bisa disentuh KPK saat ini. Karena itu power sharing akan menjadi garing karena semua partner partai koalisi menghendaki cawapres.

Jika keinginan partai-partai papan tengah itu tidak diikuti oleh Partai Gerindra bukan tidak mungkin mereka akan membuat poros tersendiri sehingga "lapangan pekerjaan" pasangan capres-cawapres bisa terakomodasi di antara mereka. Kesempatan untuk menang bisa sama, jika poros tengah ini bisa memasangkan dengan tepat pasangan capres-cawapresnya. Dan tentu saja, lawan berat mereka adalah Jokowi.

Rakyat Indonesia sekarang sudah melek politik dan anti korupsi, mereka ingin melihat transparansi dan anti korupsi dalam platform dari partai-partai yang berkoalisi. Jika tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Jangan harap pasangan capres-cawapres itu mendapat simpati dari masyarakat. Ini faktor yang harus SANGAT diperhitungkan oleh pasangan capres-cawapres dari partai manapun.

Dengan demikian posisi Prabowo sebagai capres Partai Gerindra terancam tidak jadi, jika semua partner partai koalisi tak ada yang bersedia mengalah untuk tidak menjadi cawapres.

Jadi TENDA BESAR yang disebut oleh Prabowo dan Partai Gerindra untuk koalisi mereka adalah sinyal kekalahan Prabowo yang berikutnya. "Ah mengada-ada." Mari kita simak bersama panggung politik negara kita ini dengan seksama karena sinyal pertama kelingking-jempol sudah bekerja.

MERDEKA..!!

Tulisan lain yang layak Anda baca

Prabowo: “Saya Dipecat Pak Habibie,” Beranikah KPU Menolak Prabowo? Membedah Syarat Capres dalam UU 42/2008

Koalisi Minimal Ala Jokowi Dalam Sistem Presidensial Saat Ini, Efektifkah?

Kasus Prabowo vs Jokowi: Teori Membedah Public Figure Effect Pada Pileg 2014

-------mw-------

*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun