Namun, hukum positif negara Indonesia yang memberikan sanksi optimal yaitu hukuman mati itu tetap harus dilaksanakan. Hukuman itu sebagai bentuk konsekuensi logis di dunia atas perbuatannya yang melanggar hukum dengan sanksi hukuman berat. Apalagi pengadilan sudah memutuskan, upaya banding, kasasi ataupun peninjauan kembali sudah dilakukan. Namun dengan pertimbangan fakta perbuatannya, hukuman mati telah dijatuhkan dan sudah in kracht. Presiden pun menolak permohonan grasi mereka karena mengingat, seperti yang disampaikan sendiri oleh Presiden Jokowi, Indonesia dalam keadaan darurat narkoba. Setiap hari 50 rakyat Indonesia tewas sia-sia karena narkoba. "No Compromise," begitu Presiden menegaskan kembali keputusannya untuk memberikan grasi kepada terpidana mati saat diwawancara oleh wartawan CNN Chiristine Amanpour yang disiarkan pada Selasa, 27 Januari 2015 lalu. Selengkapnya silakan baca "Presiden Jokowi “No Compromise” atas Tekanan Intensif Australia".
Kembali pada surat tertanggal 5 Februari 2015 dari AFSC yang dikirimkan kepada Presiden Jokowi dan ditembuskan kepada kedua terpidana mati. Jika memperhatikan isi suratnya terbaca hal-hal sebagai berikut:
1. Diskriminasi
Jelas surat itu diskriminasi, karena hanya menyebut dua terpidana mati dari Australia, padahal yang akan dieksekusi tidak hanya dari Australia, tapi dari Nigeria, Perancis, Brasil, Ghana, Cordoba, Filipina dan Inggris. Kenapa hanya warga negara Australia saja yang dimintakan ampun? Padahal organisasi ini memaklumkan dirinya sebagai lembaga advokasi hak asasi manusia seluruh dunia. Perhatikan kalimat dalam surat itu "....... Our organization is deeply troubled by the impending execution of Myuran Sukumaran and Andrew Chan, two Australian citizens who in prison in Indonesia for non-violent drug related crimes."
2. Arogan
Arogansi surat ini bisa diungkap pada kata pembuka "The American Friends Service Committee has been advocating for human rights nearly one hundred years. Our organization is deeply troubled by the impending execution of Myuran Sukumaran and Andrew Chan, two Australian citizens who in prison in Indonesia for non-violent drug related crimes."
Rupanya hanya organisasi itu yang merasa dirinya terganggu, ia tak memikirkan bangsa Indonesia pun telah terganggu, dan bahkan sebagian rakyatnya menjadi korban akibat beredarnya narkoba oleh mereka. Beredarnya narkoba yang marak menyebabkan Indonesia dalam keadaan darurat narkoba, dan korban narkoba yang akut akan menderita dalam waktu yang lama.
3. Meremehkan
Bonnie Kerness bahkan berani menyebut bahwa hukuman mati yang telah in kracht itu sebagai hal yang berlebihan dan tidak pantas dengan alasan terpidana mati telah menunjukkan penyesalan dan melakukan perbuatan baik selama di penjara. Pernyataan itu jelas-jelas meremehkan bahkan tidak menunjukkan penghormatan pada proses hukum yang telah dilakukan oleh peradilan Indonesia pada kedua warga negara Australia itu.
"As an organization, we believe that the death penalty is excessive. As the Director of AFSC's Prison Watch Program, I can't help but feel that it becomes inappropriate for individuals who have no history of violence, and who have demonstrated during the imprisonment their keen remorse and capacity for rehabilitation.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, demi kewibawaan hukum di Indonesia dan penegakannya sudah sepantasnya Presiden Jokowi mengabaikan surat tersebut dan tetap melaksanakan hukuman mati kepada terpidana mati kasus narkoba dan lainnya tanpa pandang bulu. Apalagi organisasi yang berpusat di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat ini kegiatannya dalam pengawasan Federal Bureau of Investigation (FBI).
-------mw-------