Sejak pesawat AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata, pukul 06.17 wib, Minggu, 28 Desember 2014 lalu pandangan mata kita dan pendengaran telinga kita akrab dengan kata-kata Basarnas, black box, FDR, CVR, puing (debris), DVI, korban, ante mortem, post mortem, identifikasi dan lain-lain bertebaran baik di media massa daring, cetak maupun audio visual.
Beberapa waktu yang lalu, saya sudah menulis tentang black box, FDR dan CVR. Lihat dan baca Membedah Isi Black Box dan Kisah Ditemukannya Black Box QZ8501
Pada kesempatan kali ini saya tak ada salahnya berbagi pengetahuan tentang Disaster Victim Identification atau disingkat DVI dibaca /di.vi.ai/.
Definisi disaster atau dalam bahasa Indonesia sepadan dengan bencana. Undang Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebut bencana berarti peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana ada bencana alam, seperti banjir, gempa, longsor, gunung meletus, tsunami, serta angin topan. Selain, bencana yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelemahan manusia sendiri, misalnya ledakan bom dan kecelakaan transportasi seperti pesawat jatuh, atau kapal tenggelam.
Korban bencana sesuai amanat Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati itu dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Dan tentu saja, perlu kejelasan status hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia.
Prosedur DVI
Identifikasi korban bencana mempunyai standar tersendiri dan mengacu pada prosedur DVI (Disaster Victim Identification) Interpol. Proses DVI terdiri dari 5 fase yaitu:
1. The Scene
Pada fase ini di TKP (tempat kejadian perkara), tim melakukan pemilahan antara korban hidup (jika ada) dan korban mati, selain juga mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada jenazah yang terpilah diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.
2. Post Mortem Examination
Jenazah pada fase ini diperiksa. Bisa dilakukan bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para pengidentifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak mungkin. Sidik jari, pemeriksaan gigi, seluruh tubuh jenazah, dan barang bawaan yang melekat pada mayat (misalnya foto, identitas, dompet, jam tangan, kacamata, perhiasan, baju dan lain-lain). Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini diinput ke dalam pink form sesuai standar interpol.
[caption id="attachment_368524" align="aligncenter" width="554" caption="Barang-Barang Milik Korban AirAsia QZ8501"]