BAB II
PEMBAHASAN
A.Gender dan Pendidikan Islam
a.Pengertian Gender
Para ilmuwan mengkonsepkan istilah gender sebagai perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang tidak bersifat bawaan atau kodrati, melainkan merupakan hasil dari budaya. Penting untuk memahami bahwa budaya ini dipelajari dan disosialisasikan dalam keluarga sejak usia dini, yaitu pada masa anak-anak. Dalam bahasa Indonesia, kata gender berasal dari bahasa Inggris, di mana dalam kamus bahasa Inggris, tidak ada perbedaan yang jelas antara makna sex dan gender. Oleh karena itu, seringkali gender dianggap sama dengan sex, yang merujuk pada perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan . Pembentukan identitas gender  dipengaruhi oleh lingkungan. Bayi memiliki identitas gender setelah mereka dilahirkan. Anak-anak diberikan pakaian dan mainan yang berbeda, dan respons orang dewasa terhadap mereka bervariasi sesuai dengan pola asuh dan lingkungan mereka. Ketika anak-anak berkembang, mereka menggabungkan pengalaman dari masyarakat dan citra diri mereka untuk membentuk identitas gender mereka. Pada usia tiga tahun, anak-anak mulai menyadari jenis kelamin mereka, apakah mereka laki-laki atau perempuan.
Gender menciptakan pembagian sifat, peran, dan posisi antara individu laki-laki dan perempuan. Ini melibatkan atribut feminin pada perempuan dan atribut maskulin pada laki-laki, peran rumah tangga untuk perempuan dan peran publik untuk laki-laki, serta perbedaan dalam posisi sosial antara perempuan yang seringkali mengalami subordinasi dan laki-laki yang cenderung mendominasi. Karakteristik, peran, dan status ini erat terkait dan sulit dipisahkan dengan jelas, dan mereka mencerminkan identitas gender :
1.Maskulin dan Feminim
Pria dan wanita mempunyai organ biologis yang berbeda. Perempuan mempunyai organ reproduksi disisi lain, laki-laki tidak memiliki organ  untuk tujuan reproduksi. Wanita bisa melahirkan anak dengan menggunakan organ tubuhnya sendiri. Untuk merawat anak, seorang wanita membutuhkan sifat lembut, sabar, penuh kasih sayang dan perhatian. Sedangkan laki-laki dengan organ tubuh yang memiliki dipandang lebih leluasa bergerak.
Perempuan dengan organ yang dimiliki dikontruksi oleh budaya untuk menjadi baik hati, sabar, penuh kasih sayang, keibuan, Â dan lembut. Sifat ini kemudian dikenal dengan feminitas. Penampilan laki-laki, tidak terpengaruh oleh siklus reproduksi, dikonstruksi oleh budaya menjadi kuat, berotot, maskulin, bertenaga, dan bahkan kasar. Ciri-ciri ini disebut maskulin. Dengan demikian, atas dasar organ tubuh masing-masing jenis kelamin, dibangunlah dikotomi ciri-ciri yang melekat pada laki-laki dan perempuan
2.Peran Domestik dan Publik
Deskripsi fitur feminin dan maskulin yang telah dijelaskan di atas memiliki dampak pada pemisahan peran yang diharapkan dari perempuan dan laki-laki. Perempuan dan karakteristik femininnya seringkali diidentifikasi sebagai sesuai dengan tugas-tugas rumah tangga, seperti membersihkan, mencuci, memasak, menyetrika, dan merawat anak, karena ini dianggap "sesuai" dengan sifat feminin seorang wanita. Bekerja di sektor rumah tangga diyakini membutuhkan kehalusan, kesabaran, kebijaksanaan, dan lain-lain. Di sisi lain, laki-laki bertanggung jawab atas pekerjaan umum seperti menjamin kehidupan di luar rumah dan melindungi keluarga mereka. Tugas-tugas ini disusun berdasarkan budaya agar sesuai dengan laki-laki yang memiliki karakteristik maskulin. Bekerja di luar rumah dan menjaga keselamatan dinilai sulit dan membutuhkan kekuatan fisik yang baik. Persyaratan tersebut dipenuhi oleh kondisi fisik dan sifat  maskulin pria.
3.Posisi Mendominasi dan Tersubordinasi
Perempuan pada dasarnya bersifat feminin dan membutuhkan perlindungan dari laki-laki yang maskulin. Baik dalam kehidupan berkeluarga maupun dalam dunia publik, dominasi laki-laki terhadap perempuan tampak dalam kehidupan berkeluarga, laki-laki atau suami, karena sifat maskulinnya, secara kultural ditempatkan  pada posisi  kepala rumah tangga, sedangkan istri atau perempuan pada posisi kedua. Perempuan digambarkan sebagai pendamping bagi laki-laki .
b.Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan agama Islam tidak lagi dipahami secara ketat sebagai pengenalan terhadap ajaran agama Islam yang dianut oleh seluruh peserta didik. Melainkan dipahami lebih luas sebagai pemajuan dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan untuk menghadapi era globalisasi yang tidak dapat dihentikan. Â Pendidikan agama mempunyai dua tujuan utama di Indonesia, yaitu yang pertama membantu peserta didik memperkokoh keimanan sesuai dengan agamanya dan yang kedua membantu peserta didik mengembangkan rasa saling menghormati dan toleransi serta menghargai perbedaan satu sama lain. Â Kesatuan negara Indonesia dapat ditingkatkan melalui penggunaan fitur ini. Â Pendidikan agama Islam pada dasarnya bertujuan untuk menginspirasi nilai-nilai spiritual dalam diri setiap peserta didik, dengan harapan mereka akan tumbuh menjadi individu yang menghormati moral dan etika, sesuai dengan tujuan utama pendidikan nasional.
Pendidikan adalah alat yang sangat penting dalam mengubah nilai-nilai sosial budaya yang sedang berkembang dalam masyarakat. Proses pendidikan yang memiliki strategi dalam mengubah nilai-nilai budaya dan sosial, dengan atau tanpa disadari, telah berperan dalam menciptakan kesenjangan antara gender. Ketidaksetaraan gender dalam masyarakat berkembang secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pendidikan yang tidak mendasarkan pada keadilan dan kesetaraan gender. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai faktor kunci dalam menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi .
Dalam Al-Qur'an, laki-laki dan perempuan dapat diidentifikasi dengan berbagai istilah. Misalnya, laki-laki disebut sebagai al-rajul atau al-rijal, sementara perempuan disebut al-mar'ah atau al-nisa. Selain itu, terdapat istilah seperti suami (al-zauj) dan istri (al-zaujah), ayah (al-ab) dan ibu (al-'umm), serta laki-laki muslim (al-muslimun) dan wanita muslim (al-muslimat). Secara biologis, laki-laki dikenali dengan istilah al-zakar, sedangkan perempuan dengan al-unsa. Di sisi lain, dari perspektif sosial dan gender, istilah al-rajul atau al-rijal digunakan untuk merujuk kepada laki-laki, sedangkan al-mar'ah atau al-nisa berarti istri.
Pendidikan Islam bisa disederhanakan sebagai sistem pendidikan yang berdasarkan pada ajaran agama Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW, dengan prinsip bahwa negara harus menghindari ketidakadilan gender atau diskriminasi terhadap perempuan. Ajaran Islam secara keseluruhan mencakup nilai-nilai yang komprehensif, adil, dan seimbang, seperti keadilan, kemanusiaan, keterbukaan, dinamisme, dan sebagainya. Dalam pandangan Islam, semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal pendidikan serta akses terhadapnya. Â
Tempat yang paling strategis untuk memperjuangkan gender adalah pendidikankarena di lembaga pendidikan laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan tentang bias gender sehingga keinginan mereka untuk berkembang tidak terbatas. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya di dalam kehidupan yang modern ini yang menyadari antara laki-laki dan perempuan hanya dari segi intelektualnya, siapa yang paling intelektual maka dialah yang berkuasa. Sebaliknya siapa yang tidak memiliki pengetahuan, dan keterampilan maka dia akan tertinggal jauh tidak pandang laki-laki ataupun perempuan . Pemeluk agama Islam diajarkan bahwasanya kedudukan antara laki-laki dan perempuan sama dihadapan Allah SWT, Tidak ada yang diutamakan atau dinomorduakan, keduanya memiliki potensi, fitrah yang berbeda, tujuannya adalah agar masing-masing dapat melenglapi dalam melaksanakan fungsi dan perannya, baik dalam ranah domesik maupun ranah publik . Lembaga pendidikan Islam merupakan lembaga yang berfungsi menghasikan generasi yang berpendidikan
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh sumber daya manusia, sedangkan sumber daya manusia tentu mencakup laki-laki dan perempuan, jika pendidikan hanya fokus pada pengembangan salah satu saja maka hal tersebut dianggap tidak adil. Â Dan sesungguhnya hakikat pendidikan itu sendiri adalah untuk membebaskan manusia dari kebodohan, pendidikan merupakan salah satu cara agar seseorang tidak tertindas. Â Pendidikan Islam mempunyai peran penting dalam mengembangkan pemahaman tentang ketidakadilan gender. Â Pendidikan Islam harus menjadi faktor utama yang memberikan kesadaran eksklusif kepada masyarakat bahwa semua individu memiliki hak yang setara, tanpa perbedaan agama atau sosial di antara mereka. Keduanya sama-sama memiliki sisi kelebihan masing-masing dan tugasnya masing-masing yang tidak bisa disamakan, sehingga bisa memiliki nilai yang sama rata atau adil
Pendidikan merupakan kunci untuk mencapai kesetaraan gender dalam masyarakat, karena pendidikan tidak hanya merupakan alat untuk mentranfor norma, pengetahuan dan kapasitas masyarakat, namun juga merupakan alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai-nilai baru agar masyarakat bisa berkembang . Dengan kata lain, lembaga pendidikan merupakan sarana sosialisasi formal dan transmisi nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Â Nilai dan norma tersebut ditularkan langsung melalui buku teks yang digunakan dalam proses pembelajaran.
B.Problematika Gender dalam Pendidikan Islam
Di berbagai aspek kehidupan sosial seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, agama, dan sejumlah bidang lainnya, kita masih dapat mengamati ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Salah satu hal yang mencerminkan adanya diskriminasi gender dalam pendidikan adalah terlihat dalam penyusunan kurikulum dan kurangnya mutu pendidikan. Ini juga terkait dengan Pasal 31 Ayat (1) dalam UUD 1945 disebutkan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Meskipun klaim pasal ini berarti bahwa  laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama terhadap pendidikan formal, namun pada kenyataannya masih terdapat asumsi yang menghalangi perempuan untuk mengikuti pendidikan formal. Penerapan kurikulum pendidikan sendiri dicatat dalam buku teks yang digunakan di sekolah.  Padahal, dalam kurikulum pendidikan (agama atau umum) masih banyak hal yang memberi dorongan kepada laki-laki melakukan pekerjaan pemerintahan dan perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga. Dengan kata lain, program tersebut memuat materi pendidikan untuk siswa yang tidak mengandung unsur netral gender, termasuk pada gambar atau kalimat ilustrasi  yang digunakan untuk menjelaskan materi tersebut.
Buku pelajaran sekolah banyak memuat gambar dan bahasa yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Misalnya profesi pilot membutuhkan keterampilan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki, sehingga citra pilot selalu laki-laki. Bias spesifik gender juga terlihat pada gambaran guru yang selalu berjenis kelamin perempuan di kelas, karena guru dianggap selalu mempunyai misi untuk mendukung atau mendidik. Ironisnya, para siswa juga menyadari bahwa meskipun guru didominasi oleh perempuan,  kepala sekolah pada umumnya adalah laki-laki. Hal yang sama juga berlaku pada pembentukan kalimat. Kalimat-kalimat seperti ``Ayah saya membaca koran di teras dan ibu saya memasak di dapur'' dan tidak sebaliknya, ``Ayah saya memasak di dapur dan ibu saya membaca koran'' masih umum digunakan hingga saat ini. terlihat pada buku teks dan contoh  yang diberikan guru di kelas. Ungkapan dalam  kalimat ini mencerminkan feminitas perempuan dan pekerjaan rumah tangga, serta maskulinitas laki-laki dan pekerjaan publik .
Problematika gender mengacu pada berbagai isu dan tantangan yang berkaitan dengan peran, hak dan persepsi indivisu berdasarkan jenis kelamin dalam masyarakat. Â Problematika gender dalam pendidikan Islam, problematika ini muncul karena ketidak adilan pemberlakuan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor biologis, sebagian besar terbentuk melalui proses sosial dan budaya. Perempuan juga harus mempunyai pendidikan yang tinggi karena kelak akan menjadi seorang Ibu, pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Â Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu bahkan antar kelas ekonomi masyarakat . Problematika gender dalam pendidikan Islam seringkali mencerminkan masalah yang sama seperti di dunia pendidikan pada umumnya. Beberapa isu problematika gender yang ada dalam dunia pendidikan adalah:
1.Kesetaraan gender
Beberapa tempat pendidikan masih memiliki ketidaksetaraan gender dalam hal akses, fasilitas dan peluang pembelajaran
2.Stereotip gender
Strereotip tentang peran dan kemampuan gender dapat mempengaruhi pilihan karir dan minat siswa
3.Kekerasan dan memikirkan seksual
Anak-anak bisa menjadi korban kekerasan atau mengungkapkan berbasis gender di sekolah
4.Kurikulum
Kurikulum dan materi terbuka yang sensitif gender perlu di perhatikan untuk memastikan materi yang adil dan representatif
5.Tindakan diskriminatif
Deskriminatif berbasis gender dalam penilaian, penghargaan atau peluang ekstrakulikuler adalah masalah serius
Penyebab terjadinya kesenjangan gender adalah rendahnya kualitas sumber daya perempuan sehingga kalah bersaing dengan laki-laki. Â Salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan dan mengajak perempuan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Â Namun, pada kenyataannya, banyak kelompok masyarakat masih menentang atau bahkan mengharamkan partisipasi perempuan dalam pendidikan formal. Bahkan ada yang berpendapat bahwa perempuan tidak perlu mengejar pendidikan tinggi karena di masa depan hanya akan berperan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu Al-Quran telah menjelaskan "perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki" sehingga memberikan gambaran inferioritas pada perempuan .
Pendidikan yang inklusif dan sensitif gender penting untuk menciptakan lingkungan yang adil dan setara di sekolah . Isu Problematika gender juga terlihat dalam Al-Quran, subjek ini sering diperdebatkan dan bergantung pada penafsiran individu masing-masing. Beberapa argumen yang mungkin menimbulkan kontroversi atau pertanyaan seputar isu problematika gender dalam Al-Quran antara lain:
1.Warisan
Al-Quran mengatur warisan dlam beberapa surah, dan dalam beberapa kasus, laki-laki mungkin mendapatkan bagian yang lebih besar dibandingkan perempuan. Ini bisa menjadi problematika gender bahkan sejak siswa belajar pendidikan agama Islam dan mendapatkan materi yang membahas pembagian warisan
2.Poligami
Al-Quran membolehkan poligami dalam kondisi tertentu, tetapi beberapa orang menyerap sejauh mana hal ini mencerminkan seks. Banyak pemahaman dari laki-laki mereka bebas dalam penikah dan memiliki banyak istri asal mamu menafkasi semua istrinya dengan setara
3.Kesaksian
Ada perbedaan dalam jumlah kesaksian yang diperlukan dalam beberapa situasi hukum, sepertti pernikahan atau pengadilan, antara laki-laki dan perempuan. Ini telah menjadi subjek yang membahas seputar kesetaraan
4.Aurat
Al-Quran mengatur konsep aurat dan berpakaian sopan tetapi ada perbedaan pendapat tentang bagaimana hal ini harus diterapkan dan apakah hal ini menempatkan lebih banyak tanggung jawab pada perempuan
Â
Secara umum, gender merujuk pada perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan tindakan mereka. Gender adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks yang lebih khusus, gender mencakup konsep hubungan sosial yang membedakan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan tersebut ditentukan bukan karena mempunyai perbedaan biologis atau alamiah, melainkan berdasarkan kedudukan fungsi dan peranannya masing-masing dalam kehidupan dan perkembangan.
Rendahnya mutu pendidikan disebabkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Â Masalah gender dalam pendidikan ada dua aspek, yaitu:
1.Akses
Aspek akses mengacu pada kendala dalam mencapai fasilitas pendidikan, khususnya di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Misalnya, walaupun setiap kecamatan memiliki banyak sekolah dasar, namun tersedia sedikit sekolah menengah (SMP dan SMA). Tidak semua wilayah memiliki sekolah setingkat SMP atau lebih tinggi, sehingga siswa harus menempuh perjalanan jauh untuk mengaksesnya. Dalam masyarakat tradisional, orang tua biasanya enggan mengirim anak perempuannya ke sekolah yang berjarak jauh karena khawatir terhadap keselamatan mereka. Akibatnya, banyak anak perempuan terpaksa tinggal di rumah dan menanggung sebagian besar tanggung jawab rumah tangga, yang membuat mereka kesulitan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Situasi ini menyebabkan banyak anak perempuan putus sekolah dengan cepat.
2.Partisipasi
Aspek partisipasi mencakup faktor bidang studi dan data pendidikan. Di dalam budaya tradisional Indonesia, di mana peran perempuan biasanya terbatas pada lingkup rumah tangga, seringkali perempuan muda memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan formal. Mayoritas keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah seringkali lebih fokus mengalokasikan dana pendidikan kepada anak laki-laki daripada anak perempuan. Hal ini sering dikaitkan dengan harapan bahwa anak laki-laki akan tumbuh menjadi kepala keluarga yang memenuhi kebutuhan finansial.
3.Manfaat dan penguasaan
Kenyataannya adalah sebagian besar penduduk Indonesia yang buta huruf adalah perempuan. Pendidikan tidak hanya sebagai proses belajar, tetapi juga sebagai "sumber" pengetahuan yang efektif untuk mengedukasikan nilai-nilai, termasuk yang terkait dengan isu gender. Dalam konteks ini, pendidikan juga berperan dalam memasyarakatkan budaya melalui lembaga formal seperti sekolah .
Terdapat diskriminasi gender dalam berbagai bentuk yang terjadi di kalangan perempuan secara umum karena berbagai alasan, khususnya :
1.Budaya patriarki, suatu sistem budaya yang bercirikan laki-laki (ayah) pada khususnya, yang mempunyai kekuasaan untuk memutuskan, mengatur, dan mengambil segala keputusan.
2.Penafsiran teks agama berdasarkan "bias gender" karena pemahamannya bersifat parsial dan tekstual sehingga mengakibatkan penafsiran "pesan" agama dan teks tentang penghormatan terhadap perempuan tidak tepat, karena metode penafsirannya tidak sesuai. tercermin secara komprehensif. Â Hal ini menciptakan opini dan persepsi agama yang diskriminatif dalam teks, bukan konteksnya.
3.Kebijakan pemerintah, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun manajemen pemerintahan yang kurang responsive gender.
Kondisi biologis pada laki-laki dan perempuan, seperti keberadaan organ reproduksi pada perempuan, pada akhirnya menyebabkan munculnya peran gender  dalam kehidupan bermasyarakat. Peran gender dan perbedaan antar jenis kelamin dapat menimbulkan ketidaksetaraan gender yang dampaknya dapat  merugikan baik laki-laki maupun perempuan.
Perilaku yang muncul di lingkungan sekolah, termasuk hubungan antara guru dan siswa selama pembelajaran maupun di luar jam pelajaran, seperti saat istirahat, mencerminkan tatanan gender yang telah terbentuk sepanjang waktu. Selain itu, pengaturan tempat duduk siswa, pembentukan barisan, dan pelaksanaan upacara juga merupakan bagian integral dari dinamika ini. Siswa laki-laki semakin banyak menduduki posisi-posisi penting, seperti pemimpin organisasi, ketua kelas, dan menentukan diskusi kelompok serta kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan gender dalam proses pembelajaran di sekolah.
Â
C.Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam
a.Pengertian kesetaraan gender
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian kesetaraan gender adalah sama atau seimbang baik dalam tingkatan maupun kedudukan. Â Kesetaraan gender adalah tentang memberikan akses dan hak. Â Dalam Islam, belajar adalah wajib bagi seluruh umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. Â Islam telah menyamakan perempuan dan laki-laki dalam hal kerohanian dan kewajiban agama, tanpa ada perbedaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Pendidikan Islam mensyaratkan prinsip demokrasi, kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan belajar yang sama tanpa diskriminasi. Â Pendidikan Islam bersifat fleksibel dan terbuka bagi semua orang yang ingin belajar, karena Islam adalah agama ilmu pengetahuan dan cahaya, bukan kebodohan, kebodohan, dan kegelapan. Â Tantangan pendidikan Islam adalah membangun sistem pendidikan yang mengarah pada tindakan diskriminasi. Â Karena cita-cita Islam adalah mewujudkan wujud dan aspek kemanusiaan seutuhnya, baik jasmani maupun rohani, maka sistem pendidikan Islam harus menjadi alternatif menuju humanisasi pendidikan.
Saat ini proses pendidikan di Indonesia nampaknya masih didominasi oleh kesenjangan gender, dan secara umum perempuan masih dianggap sebagai kelompok kelas dua dalam masyarakat Indonesia, dan statusnya lebih rendah dibandingkan laki-laki. Â Padahal, dalam dunia pendidikan, setiap orang baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama untuk belajar dan mendapatkan ilmu, tetapi pendidikan tampak lebih populer di kalangan laki-laki dikarenakan situasi ini dipacu oleh pandangan patriarki, khususnya pandangan atau stigma bahwasanya laki-laki memiliki status dan kedudukan yang lebih tinggi di bandingkan perempuan. Pemahaman sosial tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan sering kali dipengaruhi oleh argumen teologis. Ini kemudian berdampak pada peran perempuan dalam masyarakat, yang sering kali dibatasi, terutama dalam hal pendidikan. Untuk mencegah ketidaksetaraan gender dalam pendidikan, penting untuk mempertahankan kesetaraan gender.
Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai potensi tersebut. Â Tidak ada bukti bahwa potensi laki-laki jauh lebih besar dibandingkan perempuan atau sebaliknya, dan potensi setiap orang berhak untuk ditumbuhkan atau dikembangkan melalui proses pendidikan . Manusia dilahirkan merdeka (mandiri) dan lahir di dunia ini tanpa adanya perbedaan, sehingga tidak boleh ada hambatan, perbudakan, atau diskriminasi dalam kehidupan. Â Sebagai anugerah dari Allah SWT, seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kebebasan dalam mengekspresikan emosi dan mengembangkan potensinya. Â Selain perlunya beradaptasi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, muatan pendidikan Islam terutama berkisar pada ilmu pengetahuan, amal shaleh, dan keadilan.
b.Bentuk kesetaraan gender dalam pendidikan Islam
Secara prinsip, Al-Quran sebagai teks suci dalam agama Islam menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan dan menyatakan bahwa di mata Allah, laki-laki dan perempuan dianggap setara. Ini tercermin melalui ayat-ayat Al-Quran yang membahas gagasan kesetaraan gender antara keduanya, seperti yang dapat ditemukan dalam kitab suci tersebut . Diantaranya:
1.Laki-laki dan perempuan adalah makhluk Allah yang setara, sama-sama sebagai hamba, hal ini di jelaskan dalam Qs. Adz-Zaariyat ayat 56
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.
2.Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah dimuka bumi, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-An'am ayat 165
Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah- khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan- Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh- sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al- An'am ayat 165).
3.Laki-laki dan perempuan dianugrahkan dan diperlakukan sebagaimana ikrar/janji yang telah mereka janjikan dengan Allah serta disaksikan oleh para malaikat. Hal tersebut terdapat dalam Qs. Al-A'raf ayat 172
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), "bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami sekitarnya." (Kami melakukan hal seperti itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini" (QS. Al- A'raf ayat 172).
4.Laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk berprestasi
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sejujurnya Aku tidak menyia- nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki- laki maupun perempuan" (Qs. Ali Imran ayat 195).
Dari perspektif Al-Quran, terlihat bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dianggap sama. Tidak ada diskriminasi terhadap generasi muda dalam hak mereka atas pendidikan Â
Keadilan dan kesetaraan adalah prinsip-prinsip pokok yang menjadi pijakan, target, dan misi utama dalam upaya peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun harmoni dalam kehidupan bersama, dan mendukung keluarga bahagia. Dengan hampir setengah jumlah penduduk Indonesia terdiri dari perempuan, mereka memiliki potensi besar untuk mencapai kemajuan dan meningkatkan kualitas hidup. Kesetaraan gender menciptakan situasi yang setara bagi laki-laki dan perempuan untuk memiliki kesempatan dan hak yang sama sebagai manusia dalam berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, hukum, ekonomi, budaya, sosial, dan pendidikan. Kesetaraan gender mengacu pada perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan, dan tidak ada dasar untuk diskriminasi berdasarkan perbedaan biologis dalam hak-hak sosial, budaya, hukum, atau politik tertentu. Selain itu, keadilan gender juga berarti pembebasan dari penentuan peran yang kaku dan beban ganda yang biasanya dikenakan pada perempuan dan laki-laki.
Ketidaksetaraan gender merupakan akibat dari ketidaksetaraan atau ketidaksesuaian kondisi di mana laki-laki dan perempuan memperoleh peluang dan hak asasi manusia yang memungkinkan mereka mengembangkan peran kemanusiaannya dan berpartisipasi dalam masyarakat di semua bidang kehidupan. Â sosial budaya, pendidikan, keamanan nasional (hankamnath), yang darinya muncul prinsip kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Â Ketidaksetaraan ini meliputi: :
1.Marginalisasi terhadap perempuan
Marginalisasi adalah tindakan menempatkan perempuan dalam posisi yang terpinggirkan, seringkali dengan cara mencitrakan mereka sebagai individu yang lemah, kurang rasional, dan memiliki tingkat emosional yang lebih tinggi daripada laki-laki.
2.Subordinasi terhadap perempuan
Pandangan ini adalah penilaian atau asumsi bahwa  peran perempuan lebih rendah dibandingkan peran laki-laki, sehingga banyak yang memandang bahwasanya perempuan selayaknya menjadi yang nomor dua, pandangan ini menyebabkan perempuan takut untuk menunjukan kemampuannya. Laki-laki menyimpulkan bahwa perempuan tidak mampu berpikir seperti mereka
3.Stereotip terhadap perempuan
Stereotip adalah label atau pandangan negatif terhadap kelompok atau gender tertentu. Salah satu  stereotip yang melekat di masyarakat adalah bahwa mencari nafkah adalah pekerjaan laki-laki dan  perempuan yang lemah, emosional atau emosional sebaiknya tinggal di rumah.
4.Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah serangan terhadap fisik atau psikologis seseorang  terhadap lawan jenisnya. Kekerasan berbasis gender dapat berupa pelecehan, kekerasan (fisik maupun non fisik), pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan, prostitusi, pornografi, dan lain-lain.
5.Beban kerja yang berlebihan (beban ganda)
Pekerjaan yang diberikan kepada perempuan akan memerlukan lebih banyak waktu untuk diselesaikan daripada jika diberikan kepada laki-laki. Hal ini disebabkan oleh tanggungan pekerjaan rumah yang masih ada pada perempuan yang berkarir, bahkan jika ada bantuan pembantu rumah tangga, karena biasanya pembantu rumah tangga juga perempuan
6.Perempuan dirancang sedemikian rupa sehingga tugas utamanya mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki dirancang untuk berperan di ranah publik. Pekerjaan perempuan yang lebih terfokus pada ranah domestik (segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan di dalam rumah tangga) menimbulkan asumsi dan penilaian bahwa pekerjaan istri yang profesional merupakan beban ganda, karena  perempuan terikat oleh asumsi-asumsi tentang gender sejak awal kehidupannya di keluarga tempat mereka berintegrasi ke dalam masyarakat, sementara laki-laki secara budaya tidak diwajibkan  untuk melakukan hal tersebut.
c.Contoh kesetaraan gender dalam pendidikan
1.Olahraga dan Ekstrakurikuler: Sekolah harus memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam olahraga dan kegiatan ekstrakurikuler, serta mendukung tim dan klub yang terdiri dari siswa dari berbagai jenis kelamin.
2.Fasilitas Inklusif: Fasilitas sekolah seperti toilet dan ruang ganti harus dirancang untuk memastikan kenyamanan dan keamanan bagi semua siswa tanpa memandang jenis kelamin.
3.Penghapusan Pelecehan Gender: Sekolah harus memiliki kebijakan yang kuat untuk mencegah dan mengatasi pelecehan gender, termasuk pelecehan verbal, fisik, dan online.
4.Mendukung Pengembangan Karir: Mendorong siswa, terutama perempuan, untuk mengejar karir dalam bidang yang mungkin secara tradisional didominasi oleh laki-laki, seperti polisi, sains, teknologi, teknik, dan matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi, Kesataraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Cet Ke-1 Bandung: PT Genesindo, 2004)
Achmad Muthia'in, Bias Gender dalam Pendidikan (Surakarta UMS, 2001)
Achmad, S. Membangun Pendidikan Berwawasan Gender, Jurnal Studi Islam Gender dan Anak, (2019)
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integritas Keilmuwan Pendidikan Islam (Malang: UIN Maliki Press,2011)
Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. (Yogyakarta: Garudhawaca,2016)
Astuti, Tri Marhaeni Puji. Antropologi Gender. Modul Perkuliahan Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang 2007
Azhari, Pendidikan Anak Dalam Dimensi Islam, sebuah tinjauan kritiskonsep kesetaraan gender dalam pendidikan anak (Yogyakarta: Absolute Media) 2013
Dewi Ratnawati, Sulistyirini, Ahmad Zainal Abidin, "Kesetaraan Gender Tentang Pendidikan Laki-laki dan Perempuan". Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, Volume 15, No. 1. (2019),
Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Mas, Panduan Pendidikan Anak Usia Dini Responsif Gender
Engineer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: LSPPA) 2000
Fakih, Mansour. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadianti, Asti Nur. "Pendidikan Gender Pada Anak Usia Dini" Jurnal Penelitian Dan Artikel Pendidikan 2, no 4 (2010)
Hamka, Tafsir Al-Azhar, XXI, hal 79, 1962
Hesri Setiawan, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Graha Budaya dan Kalyanamitra, 1999),
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1999)
Millenial : Jurnal Pendidikan dan Studi Islam Volume 2, Nomor 1, Maret 2022
Moh, Nawafil dan Junaidi, "Revitalisasi Paradigma Baru Dunia Pembelajaran yang Membekas" Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, Vol. 4, no 2 (April 2020),
Mufidah, Pengarusutamaan Gender Pada Basis Keagamaan:Pendekatan Islam, Strukturasi& Konstruksi Sosial, UIN-Malang Press, 2009.
Mufidah, Pengarusutamaan Gender Pada Basis Keagamaan:Pendekatan Islam, Strukturasi& Konstruksi Sosial, UIN-Malang Press, 2009.
Muhammad Akip, "Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan Islam", Edification Jurnal: Pendidikan Agama Islam, Jilid 3, No. 1. (Juli, 2020),
Nanik Setyowati, "Pendidikan Gender dalam Islam" : Studi Analisis Nilai-Nilai Kesetaraan Gender dalam Pelajaran PAI di SD Ma'rif Ponorogo, Jurnal Pendidikan Islam dan Multikulturalisme, Volume 1, No. 1, (2019)
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran (Jakarta : Paramadina, 2001)
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarusutamaan di Indonesia, Jogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008
Siti Azizah dkk, Kontekstualisasi Gender Islam dan Budaya, (Makasar: Alauddin)
Susilaningsih dan Agus Muh. Najib (Ed), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: UIN,2004)
Tobroni, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan. Demokrasi, HAM. Civil Society, dan Multikulturalisme. MALANG: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (2007)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H