Ada satu kali kejadian saya mengurungkan mengambil foto yang sebenarnya sangat bagus. Ada seorang tentara dengan senapan mesin di atap sebuah bangunan, sebagian senapannya ditutupi semacam kain kamuflase, jari tangannya terlihat di pelatuk senapan, wajahnya siaga.
Ketika saya mengangkat kamera dengan lensa 18-135mm, matanya beradu dengan mata saya, sebuah tatapan konfrontatif. Sayapun menurunkan kamera saya.
Salah satu pimpinan tentara separatis tertembak mati. Dia seorang pemimpin pemberontak muda yang sangat diincar oleh pemerintah setempat karena popularitas dan pengaruhnya di media sosial.
Pertempuran antara tentara pemerintah dan pemberontak terjadi di berbagai tempat. Beberapa polisi dan tentara terbunuh. Jalan menuju bandara ditutup.
Kami hanya bisa memesan makanan di hotel karena semua restoran dan toko tutup. Pada hari pertama makanan di hotel masih lengkap tetapi pada hari kedua tidak semua makanan yang tertulis di menu tersedia.
Jalan gelap dengan satu sisi gunung dan sisi lainnya jurang. Blokade yang berupa batu-batu besar, batang pohon, dan tiang lampu berserakan disepanjang jalan.
Kami hampir celaka ketika sopir kami tidak melihat ada tiang listrik dihalangkan di tengah jalan. Untuk sepersekian detik sebelum menabrak kami semua berteriak dan dia berhasil menghindari tiang tersebut.
Sesampai di bandara kami harus membeli tiket yang baru karena tiket kami habgus semua, termasuk tiket saya untuk pulang ke Indonesia. Kami masih bersyukur hanya kehilangan tiket, bukan nyawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H