Pergantian tahun 2017 ke tahun 2018 di Jalan Malioboro, pusat kota Yogyakarta, satu-satunya daerah yang masih melestarikan kepemimpinan daerah turun temurun sangat meriah bahkan cenderung hiruk-pikuk. Jalan raya ditutup untuk segala kendaraan bermotor. Ada ribuan orang yang turun ke jalan. Untuk berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain sangat sulit karena banyaknya manusia yang berjejal-jejal.
Sambil memotret pertunjukkan yang ada saya jadi berpikir: mengapa pergantian tahun dirayakan sebegitu meriah, sebegitu gegap gempita. Kembang api sudah mulai dinyalakan secara bergantian diberbagai tempat mulai pukul 8 malam. Pada tepat pukul 00 atau jam 12 malam, kembang api dinyalakan secara serentak disepanjang jalan dan diberbagai tempat tanpa henti, hampir selama 30 menit. Kemeriahan yang sungguh gegap gempita dan luar biasa ramainya.
Perayaan pergantian tahun dengan sedemikian meriah penuh selebrasi adalah sebuah tradisi baru bagi masyarakat Jawa. Tidak terlalu baru tetapi perlahan tradisi perayaan pergantian tahun  bergeser dari kontemplasi ke arah selebrasi.
Pada masyarakat Jawa lama, perayaan pergantian tahun, misalnya pergantian tahun Jawa, dirayakan dengan upacara- upacara adat yang bersifat reflektif dan kontemplatif. Orang-orang akan berdiam diri, berhenti dari hiruk pikuk hidup keseharian dan sejenak berefleksi, menoleh ke belakang bukan untuk hidup dalam masa lalu tetapi lebih pada mengevaluasi diri untuk hidup yang lebih baik di masa depan. Refleksi dan kontemplasi, menoleh ke belakang itu mensyaratkan penemuan makna. Kalau kita menoleh kebelakang dan tidak menemukan makna, yang ada hanya hampa maka orang akan takut menoleh kebelakang sejenak, takut berefleksi. Tidak menemukan makna hidup adalah hal yang paling menakutkan pada manusia.
Dalam masyarakat industri selalu ada alienasi, keterasingan. Apa yang dikerjakan sehari-hai tidak ada hubungan dengan dirinya, keluarganya, atau tetangganya. Pekerja pabrik sekrup tidak tahu sekrup yang dia buat setiap hari itu untuk apa dan untuk siapa. Pekerjaan menjadi rutinitas yang tidak berkonteks sehingga tidak bermakna. Refleksi dan kontemplasi menjadi membingungkan, menakutkan, dan bahkan bisa jadi menyakitkan.
Maka solusi termanjurnya adalah selebrasi, rayakan, lupakan keseharian yang asing. Seperti tari Angguk, musiknya monoton seperti rutinitas yang bertalu-talu. Lalu penarinya kesurupan, lupa penatnya hidup yang asing dan tak bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H