[caption id="attachment_257543" align="aligncenter" width="320" caption="(dok. kelompok SEPI)"][/caption]
Kalau kita meng-Google kata ‘java’, yang pertama dan paling banyak kita temukan adalah ‘java’ sebagai nama bahasa program computer yang dikembangkan oleh Sun Corporation. Program ini sangat popular dan dipakai lebih dari 10 juta program untuk menjalankan layanan berbasis jaringan. Konon, ‘bahasa Jawa’ untuk computer ini di namai ‘java’ karena para pengembang program ini banyak mengkonsumsi kopi Jawa.
[caption id="attachment_257547" align="aligncenter" width="320" caption="(dok. Kelompok SEPI)"]
Urutan kedua yang kita temukan dalam mesin pencari Google adalah ‘Java coffee’ alias kopi Jawa. Kopi Jawa yang awalnya pertaniannya dikelola oleh Belanda ketika mereka menjajah Jawa sekarang menjadi terkenal di seantero dunia. Ekspor kopi dari Jawa diawali pada abad ke 17. Bahkan kata ‘java’ sendiri di Amerika itu artinya secangkir kopi Jawa. Makna ‘java’ menyurut menjadi kopi saja. Tanah di mana kopi itu ditanam dan petani-petani yang merawat pokok-pokok kopi terlupakan.
Java sebagai sebuah nama, sebuah lokalitas, telah mendunia salah satunya lewat kopi dan yang pada perkembangannya kemudian mendapat makna baru menjadi sebuah bahasa program. Namun demikian makna yang lebih luas, sebagai sebuah pulau dan sebagai sebuah suku bangsa semakin tereduksi. Secara global makna Java menjadi secangkir kopi atau sebuah bahasa program computer saja. Tak heran jika hal ini menjadi kecemasan tersendiri bagi orang Jawa. Bahkan tak jarang kita mendengar keluhan tentang tercabutnya nilai-nilai kultural yang dulu dimiliki oleh orang Jawa tidak terwariskan secara semestinya kepada generasi berikutnya. Misalnya generasi baru orang Jawa tidak lagi mengenal cerita-cerita rakyat yang dimiliki, permainan-permainan anak tradisional terlupakan dan digantikan oleh game-game komputer. Cerita-cerita wayang hampir hilang di hati anak-anak tergantikan oleh komik-komik super hero.
[caption id="attachment_257548" align="aligncenter" width="320" caption="(dok. Kelompok SEPI)"]
Inilah sekelumit ide-ide yang muncul pada diskusi Kelompok SEPI dalam rangka menyiapkan pameran untuk kegiatan pameran tahunan pada tahun 2013 ini. Kelompok SEPI dibentuk pada tahun 1998. Tahun ini kelompok perupa ini genap berusia 15 tahun.
“Van nJava: Lokalitas Mendunia” adalah tema yang dipilih sebagai ungkapan keprihatinan dan sebagai ungkapan harapan. Keprihatinan atas terdesaknya budaya-budaya lokal pada umumnya, dan khususnya budaya Jawa sebagai budaya yang membentuk dan menumbuhkan sebagian besar anggota Kelompok SEPI. Namun pada saat yang sama tumbuh pula harapan karena globalisasi bisa menduniakan sebuah lokalitas seperti yang terjadi pada kopi Jawa misalnya.
Pada pameran yang akan diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta ini Kelompok Sepi mengundang perupa dari beragai kota untuk berkolaborasi mewarnai dunia lokalitas senirupa Yogyakarta demi mencoba memberi sumbangan terhadap globalisasi. Dengan demikian seperti penyebaran kopi Jawa lokalitas bersifat kontributif dan globalisasi bukan kolonialisasi satu arah.
Pameran akan diadakan dari tgl 21 – 25 September 2013. Pameran ini terbuka bagi semua perupa yang bersedia mengikuti seleksi kuratorial. Filosofi dan ideology kelompok Sepi selama 15 tahun tetap konsisten memberi wadah dan ruang bagi perupa dari berbagai golongan yang kadang termarginalkan dengan tetap mempertimbangkan kualitas ide maupun visual.
Bagi yang berminat ikut pameran ini silakan hubungi Kelompok SEPI. Syarat dan ketentuan pameran serta formulir pendaftaran ada di blog Kelompok SEPI.
http://kelompoksepi.blogspot.com/2013/03/pameran-seni-rupa-15th-kelompok-sepi.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H