Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Keris Mpu Gandring: Percintaan Naga Besi dan Permata

29 Mei 2010   02:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:54 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arok Berkaca Dedes (4)

[caption id="attachment_152629" align="alignleft" width="255" caption="Percintaan Naga dan Permata (dok. ouda)"][/caption]

Sambungan dari kisah sebelumnya:

1. Cinta Terkutuk

2. Wanita Berbetis Rembulan

3. Hamil Revolusi

Sepeninggalan Arok, Mpu Gandring terdiam di bilik penempaannya. Ragu akan permintaan Arok. Akankah Arok membawa perubahan demi kebaikan seluruh tanah Jawadwipa, ataukah dia hanya akan menjadi penguasa yang lainnya, memeras darah dan keringat kaum sudra. Mampukah dia mengangkat derajat sudra menjadi kesatria seperti dirinya?

Matahari telah bersemi di dahan-dahan rendah pohon nangka. Sinar hangatnya menyapu keringkan embun air mata yang tercucur semalam di helai-helai daun ilalang. Embun bening yang bergantungan di daun-daun padi adalah keringat para petani. Keringat dan airmata para petani yang seharian bekerja menjelma menjadi embun bening sejuk di pagi hari karena doa dan puja para brahmana. Tanpa doa-doa, cucuran keringat dan air mata hanya akan menjadi tumpahan darah dan amarah.

Dedaunan menaungi bilik penempaan Mpu Gandring. Dia duduk bersila di atas sebuah batu besar memandangi sebilah besi tua. Bilah besi tua ini dia pungut dari luar reruntuhan candi yang dulu didirikan oleh Maharaja Airlangga. Bilah besi ini pernah berjajar bersama bilah besi lainnya dan menjadi serumpun gamelan yang bunyinya senantiasa bergema dan membuat semua orang terlena dan bahagia. Bilah ini kini sendiri saja. Dia akan senantiasa mencari belahan hatinya, saudara-saudara sekandungnya. Hanya bila tujuh bilah telah bersatu akan terdengar lagi harmoni yang padu, yang akan membuat orang yang mendengar gemanya bahagia.

Di samping bilah besi itu tergeletak sebuah batu permata yang dialasi kain kafan putih. Teluhbraja, sebuah batu permata yang jatuh dari langit pada malam hari disertai cahaya yang menyilaukan mata. Bagi yang tak kuat menggenggamnya, batu permata ini adalah sumber penyakit bagi seluruh desa, bahkan seluruh kota. Hanya di tangan seorang brahmana yang suci hatinya batu ini akan menjadi rahmat bagi kesuburan tanah di seluruh negri.

Sepanjang hari Mpu Gandring tak beringsut dari duduk silanya. Dia tak makan atau minum apapun, menunggu matahari bersembunyi sebelum dia mulai kerjanya. Dia tak mau ada manusia atau makhluk lainnya yang makan di siang hari mendengar mantranya.

***

Di gerbang istana Tumapel Arok memimpin penjagaan istana bersama Mahesa Ron atau yang biasa disebut Kebo Ijo, pegawai kepercayaan Tunggul Ametung lainnya. Mahesa Ron duduk tegap membusungkan dada, bangga akan apa yang telah diterimanya, jabatan tertinggi bagi seorang prajurit.

“Arok, kawan, aku merasakan hawa panas kegentingan akhir-akhir ini. Kita harus mengorbankan segenap jiwa dan raga menjaga ketenteraman istana.” Kata Mahesa Ron kepada Arok.

“Akupun merasa begitu.” Jawab Arok sambil bersandar di pohon beringin. Matanya yang hitam berkilauan seperti batu kali nanar memandang istana. Menembusi dinding ruangnya dan berhenti di bilik peraduan Dedes. Memandangi Dedes yang tak lelap di pembaringannya. Memandangi mata Dedes yang tak lelap terpenjam, berkedip-kedip perlahan bagai lentera minyak menjelang pagi yang telah enggan menyala.

Angin diri hari yang membawa wangi dupa yang mulai dinyalakan oleh para brahmana di candi-candi istana mulai terasa. Angin wangi itu mengusapi daun-daun beringin di atas kepala Arok. Suaranya gemerisik berbisik pada hati Arok yang terbenam pada cinta.

“Bulatkan tekadmu, bebaskan cintamu dari kutukan sang Mpu Parwa ayahnya. Lunasi hutang darahnya, tak selayaknya seorang kesatria merampas anak gadis seorang brahmana.” Bisik daun-daun yang rindu hujan itu.

“Kau lebih layak berdampingan dengan Dedes, karena kau lah titisan Wisnu. Kau akan membawa negeri ini Berjaya, bukan hanya menjadi kota praja di bawah Kadiri.” Angin dini hari yang semakin kencang bertiup. Gemerisiknya menyentil-nyentil telinga Arok dan wangi dupa yang dibawanya menyesakkan dada, membuat kepalanya ringan bagai berongga.

“Aku akan berkuda mengelilingi kota praja, dan bahkan ke pelosok desa. Aku mencium amarah dan bau darah. Ku serahkan keamanan istana kepadamu.” Kata Arok kepada Mahesa Ron.

“Akulah benteng tertangguh istana. Pergilah kawan.” Jawab Mahesa Ron sambil berdiri dan membusungkan dada.

***

Ketika kegelapan malam mulai meraja, dalam kegelapan tanpa lentera Mpu Gandring menghembusi bilah besi tua itu dengan panas nafasnya. Lalu dengan keras palu besi tangannya dia mengurut bilah besi itu menjadi sebilah besi yang meruncing dan berkelok ke kanan dan kiri. Dalam panas hembusan nafas dan keras tangan palu, besi tua itu memerah membara dan menggeliat-geliat bagai naga. Kegelapan malam kadang menjadi benderang dari percikan-percikan bunga api.

Gumpalan batu permata Teluhbraja, sumber penyakit dan nestapa bagi yang kotor hatinya dan sumber kekuatan bagi yang suci hatinya dibalurkan pada geliat naga merah besi membara. Dalam hembusan nafas panas dan hantaman palu sang Mpu, naga merah besi membara, sang lelaki yang penuh dendam amarah bersenggama dengan bongkah indah permata dari angkasa yang kadang penuh kilau cemburu. Teluhbraja adalah permata, adalah wanita, yang bisa menjadi sumber sakit dan nestapa ataupun menjadi sumber bahagia bagi lelaki yang menyandangnya.

Percintaan lingsir wengi, tengah malam yang penuh gelora. Naga merah besi membara menggeliat, membelit, memagut sang indah batu permata. Percik bara api dari naga besi dan kilau permata berhamburan dalam setiap geliatan. Derak naga bara besi dan desah lelehan permata bersahutan membelah kesepian tengah malam dalam setiap hentakan, setiap pagutan.

Sang Mpu kehabisan nafas menggenggam percintaan bilah besi yang telah menjadi naga dan sebongkah permata yang telah meleleh menjadi sungai asmara. Disiramkannya air bunga 27 rupa atas percintaan mereka. Desis nafas panjang dari sang naga dan desah lembut lelehan permata mengakhiri percintaan tengah malam yang penuh hasrat dan gelora.

Kokok ayam jantan pertama bersahutan menandai akhir sebuah malam.Bilah besi tua dan bongkah permata itu kini telah menjadi satu raga. Terbaring diam dalam timangan sang Mpu Gandring. Desis dan desah nafas perlahan masih terdengar. Bintik-bintik air dari siraman bunga 27 rupa masih tertinggal dipunggung mereka, tubuh mereka yang sekarang telah menjadi satu masih hangat dan mengeluarkan uap.

Mpu Gandring menimang keris yang masih hangat di tangannya. Sebuah keris dari percintaan seekor naga besi yang marah dan sebongkah permata yang lembut berlikau.

(Bersambung ke: Kutukan Darah Mpu Gandring)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun