Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hamil Revolusi

21 Mei 2010   11:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:03 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Arok Berkaca Dedes (3)

[Lanjutan dari: Cinta terkutuk dan Wanita Berbetis Rembulan]

[caption id="attachment_146708" align="alignleft" width="300" caption="Kecantikan yang berdarah (dok. ouda)"][/caption] “Aku tak bisa melihat dan mengatur perputaran cakra masa depan. Jika yang kuingini terjadi, itu kuanggap kehendak Hyang Widhi, jika tak terjadi, itu hanya keinginan Arok yang pongah dan tinggi hati ini.”

***

Dedes terbaring terlentang di samping Tunggul Ametung yang terlelap bagai orang mati. Matanya tak bisa terpejam. Lembut dan hangat batik yang mengalasi tidurnya dan menyelimuti tubuhnya tak mampu memberinya sebuah buaian mimpi.

“Akankah kecantikanku menumpahkan darah di bumi Tumapel?” Bisik Dedes pada langit-langit biliknya.

Arok berdiri di tengah gerbang memandang alun-alun Tumapel. Tangannya terlipat di depan dada, tegap satria berdirinya. Rembulan masih tergantung rendah di langit dini hari. Dini hari yang remang dan tenang, angin tak bertiup, mati. Cahaya rembulan melapisi bubungan atap-atap rumah dan daun-daun pohonan. Arok melihat Tumapel menjadi kota praja, rumah-rumah menjadi megah beratap perak berkilauan. Inilah Jawadwipa yang dia impikan.

“Darah tertumpah bukan karena cantikmu. Tetapi sebagai persembahan pada ibu pertiwi yang mengejawantah dalam indahmu. Juga sebagai penyuci bumi karena Ametung telah melanggar janji satria, karena merampas putri seorang brahmana.” Bisik Arok pada gerbang Tumapel dan dua beringin yang berdiri berdampingan di tengah alun-alun.

Batu-batu gerbang adalah saksi yang tertua. Mereka tahu segalanya, mereka telah mendengar nubuat resi Lohgawe tentang Ken Dedes, kepada Arok mereka berbisik:

“ Hanya perempuan berbetis rembulan yang akan menurunkan raja-raja bagi tanah Jawa, namun kutuk juga bersamanya.”

Arok ingat sahabat ayah angkatnya, Mpu Gandring. Lelaki kurus tua yang bisa mengasah sebilah besi menjadi sebuah keris sakti yang bisa membelah batu.

“Hanya sang maha resi Mpu Gandring yang bisa memercikan persembahan kepada bumi dan menyucikan ibu pertiwi.”kembali batu-batu purba di gapura candi itu berbisik pada Arok.

***

Tanpa menunggu rembulan pergi Arok segera memacu kudanya ke arah utara, mengikuti jalan setapak di hutan Lawang lalu berbelok ke timur menelusuri sisi utara gunung Bromo. Embun dan kabut mengusap-usap kulitnya. Tetapi panas darahnya segera menguapkan embun dan kabut yang menempel itu. Kudanya dipacu sekencang-kencangnya, hidung kuda itu berdengus-dengus mengeluarkan asap dari udara panas dalam tubuhnya. Desa Lumbang adalah tujuannya.

Ufuk timur telah memerah ketika Arok mencapai gerbang desa Lumbang. Gerbangnya terbuat dari bata merah yang tersusun rapi seperti sebuah candi. Sesajen dalam ancak bambu kecil-kecil berserak di depan gerbang desa itu menandakan penduduknya beragama Hindu yang taat. Di lereng Bromo ini Shiwa sangat dihormati agar dia tak meniupkan amarah melalui kawah Bromo dan menghancurkan padi dan palawija.

Ayam hutan berkokok dari atas dahan-dahan dan kadang disahut oleh kokok ayam kampung dari kandang di bawah lumbung. Suara genta sapi bertalu-talu dari kibasan kepalanya yang mengusir serangga. Kicau burung kedasih bersahutan. Kedasih adalah burung yang selalu berkicau paling pagi. Burung inilah yang tahu pasti kapan sang surya siap menampakkan diri.

Arok turun dari kudanya, melepaskan kendali dan membiarkan kudanya merenggut rumput-rumput yang masih berembun. Dia berjalam menuju sebuah rumah beralas batu kali yang berdinding kayu trembesi.

Sang pemilik rumah adalah seorang yang mpu yang mumpuni, tiada duanya di tanah Jawa. Ketajaman inderanya bisa mengetahui kedatangan seseorang yang tak diduga. Dia berdiri tegak ditengah halaman, menghadap selatan memandangi gunung Bromo. Rambutnya yang tersanggul rapi di atas kepala telah memutih, jenggotnyapun abu-abu.

“Salam bagimu ya maha resi Mpu Gandring.” Sapa Arok ketika memasuki pelataran rumah orang tua itu.

“Damai bagimu Arok anak Bango Samparan. Angin apa yang menerbangkanmu kemari sepagi ini? Kau tergesa-gesa hingga tubuhnya seperti tembaga.” Jawab Mpu Gandring tanpa berpaling. Ia mengelus-elus jenggotnya dan mata tuanya yang tajam tak lepas dari kepulan asap gunung Bromo.

“Aku perlu menghormat bumi pertiwi. Tunggul Ametung telah mengingkari sifat kesatria karena dia telah merampas kehormatan seorang brahmana. Darahnya harus tumpah untuk menyucikan bumi Tumapel.” Kata Arok tanpa membuang waktu lagi.

“Mengapa kau datang padaku?” Tanya Mpu Gandring meskipun ia telah tahu niat Arok.

“Hanya kerismulah yang bisa membelah batu-batu di dasar kali Brantas. Aku memerlukan sebilah kerismu untuk menikam hati yang tidak kesatria dan kemudian untuk membangun kembali candi-candi. Aku telah melihat kemegahan Tumapel berbalut perak. Tumapel akan menjadi cikal bakal kejayaan Jawadwipa.”

“Mengapa engkau tergesa-gesa?” Tanya Mpu Gandring lagi.

“Dedes telah hamil, Tumapel telah hamil. Jangan sampai Ametung melihat anaknya lahir. Aku harus menjadi ayah dari anak Dedes. Besok malam akan aku ambil bilah kerisku.” Tanpa menunggu jawaban Mpu Gandring, Arok meraih kendali kudanya, melompat ke atas pelana dan memacu kudanya masuk hutan Bromo, menghilang dalam pekat kabut pagi. Bersambung ke: Percintaan Naga Besi dan Permata

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun