Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Cambuk Chairil dari Guruku

24 Februari 2010   20:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:45 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_81127" align="alignleft" width="153" caption="Cambuk Chairil"][/caption]

Dalam puisi “Sekolah Menciderai” saya bercerita tentang bagaimana jaman sekolah dulu menguras air mata saya. Anak laki-laki kerempeng yang cengeng, tak lebih dari itu.

Seorang kawan, Syam, berkomen: “aku dengar jeritmu dari sini kawan….”

Listiyo Fitri dan Bang Mukti Ali pun bertanya hal yang serupa, catatan pribadikah? Memoirkah? Inge si ratu dudul mengira saya membuat sentilan saja, mas Bahrum berpikir saya sedang membuat sebuah deskripsi.

Bahkan Mas Bambank berkomen tidak percaya: “Tapi mas Saija tidak mirip sekali dengan berjuang…bagi saya hahahahaaaa”. Mungkin karena dia membaca cerita indah yang di tulis om Firman, “Ode buat Ouda”, yang nampaknya berkilau penuh warna.

Minggu lalu Professor Brigid Schlutz dosen saya mengajukan pertanyaan yang serupa, ketika saya bercerita tentang hari-hari sekolah saya dulu: “Then ... how do you get here?” “Bagaimana kau bisa sampai sini?”

Lalu mbak Miagina Amal dalam komennya menyebut Another Brick in the Wall, lagu Pink Floyd tentang kejamnya sekolah. Ada anak yang dihukum karena membuat puisi, ada anak dicambuk dengan ikat pinggang. Cidera saya cidera hati, tidak seperti dalam lagu itu.

Cambukkan dalam lagu itu membuat saya berefleksi. Apa yang mencambuk saya, si bocah kerempeng yang cengeng ini sehingga masih terus bersekolah sampai hari ini?

Dan saya lalu ingat ibu guru saya di kelas 3 SD. Dialah wanita yang paling mengerti saya mungkin. Dia memberi saya sebuah puisi, diketik di selembar kertas. Meminta saya menghafalkannya untuk lomba deklamasi. Saya hafalkan puisi itu, lalu lomba di sekolah dengan panggung bangku-bangku, maju lagi di tingkat kelurahan, lalu tingkat kecamatan.

Berdiri di atas bangku, mencambuki diri dengan puisi, memberi saya sebuah ekstasi. Jadi itulah jawabnya: “pedih dan air mata saya bawa berlari, berlari, karena saya ingin hidup 1000 tahun lagi.” Dan inilah cambuk Chairil pemberian ibu guru saya di SD kelas 3.

(cuilan catatan ecce homo, bertelanjang diri pada para sahabat kompasioner)

Sumber gambar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun