Pada 9 November 2024, Presiden Prabowo Subianto mengadakan kunjungan kerja dengan Presiden RRC yakni Xi Jinping. Ini merupakan pertemuan perdana prabowo sebagai presiden, dalam pertemuan tersebut Prabowo dan Xi jinping menyepakati beberapa kesepakatan. Salah satu kesepakatan yang dicapai adalah Joint statetment terkait wilayah Laut cina selatan. Joint statement ini berisikan kesepakatan kerjasama maritim bersama di kawasan Laut cina selatan. Namun kesepakatan joint statement ini menuai berbagai kritik secara nasional dan regional karena LCS merupakan wilayah sengketa konflik antara China dan beberapa wilayah di Asia Tenggara.
      Laut china selatan menjadi wilayah yang masih diperebutkan karena masih adannya klaim atas beberapa titik wilayah laut. Wilayah ini diperebutkan bukan tanpa sebab karena wilayah ini memiliki kekayaan sumber daya minyak bumi dan gas menyimpan cadangan minyak sebesar 11 miliar barel dan gas alam sekitar 190 triliun kaki kubik serta menyimpan kekayaan hayati yang beragam (Toruan, 2020).  beberapa  negara  negara  ASEAN  yaitu Indonesia, Filipina,  Brunei  Darussalam,  Malaysia,  dan  Vietnam  dan  negara  luar  seperti Tiogkok Amerika  Serikat  dan  negara  lainnya telah bersaing di wilayah LCS. Dalam isu sengketa perairan Laut Cina Selatan Cina kerap dituduh bersifat arogan dalam kasus laut cina selatan karena telah melakukan klaim terhadap kawasan tersebut.  Dari enam negara yang bersitegang, China adalah negara yang paling asertif dan agresif dalam sengketa internasional tersebut, baik melalui penggunaan jalur diplomasi maupun kekuatan lain, seperti kapal ikan, kapal patrol maritime,  dan  angkatan  laut.  China mengklaim wilayah nine dash line atau sepuluh garis putus-putus yang menjadi penanda wilayah laut mereka karena menurut china itu adalah wilayah mereka secara historis (Pradana, 2017).
      Upaya untuk menyelesaikan sengketa laut china selatan telah dilakukan oleh banyak organisasi baik internasional maupun regional. Beberapa diantarannya adalah ASEAN memiliki peran penting dalam mengelola konflik ini melalui mekanisme diplomasi multilateral. Salah satu bentuknya adalah Deklarasi Perilaku Pihak-Pihak di Laut Cina Selatan (Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea atau DOC), yang ditandatangani pada 2002 antara Tiongkok dan negara anggota ASEAN (Rachmawati, 2021). Namun hal ini tidak cukup karena China di tahun selanjutnya masih terus mengklaim kawasan ten dash line di laut cina selatan. China bahkan melakukan tindakan yang melanggar hukum laut internasional dengan mendirikan pulau-pulau buatan di kawasan laut cina selatan. Kondisi ini memperburuk kawasan saat itu hingga muncul Putusan Mahkamah Arbitrase 2016 yang menyatakan tidak ada bukti kepemilikan historis Cina atas wilayah tersebut dan mendukung klaim maritim Filipina namun china menolak putusan tersebut. kemudian di tahun 2020 ASEAN dan Cina membuat kesepakatan  dialog intensif tentang Code of Conduct (CoC), dialog ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik di wilayah LCS dan masih terus dilaksanakan hingga saat ini (Toruan, 2020).
      Konflik Laut Cina selatan menjadi permasalahan besar di kawasan ASEAN dan Indonesia karena menyangkut masalah kepentingan nasional masing-masing negara. namun adannya joint statement antara prabowo dan xi jinping di kawasan konflik LCS akan dapat menciptakan masalah baru.Cina dapat saja mengklaim wilayah LCS secara sepihak dan berperang dikawasan ini. Peran Indonesia dan ASEAN dalam menyelesaikan sengketa LCS sangat vital, mengingat dampak yang dapat ditimbulkan terhadap stabilitas regional dan hubungan antar negara. Indonesia sebagai negara yang terletak di kawasan ini perlu menjaga kehati-hatian dalam menjalin hubungan dengan China, terutama setelah pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping pada 9 November 2024. Meskipun terdapat kesepakatan Joint Statement yang mencakup kerja sama maritim di kawasan LCS, kesepakatan tersebut patut dipertanyakan dalam konteks sengketa wilayah yang belum terselesaikan. Apabila Indonesia dan ASEAN tidak berhati-hati, kesepakatan ini dapat berisiko menjadi pintu gerbang bagi China untuk semakin memperkuat klaim sepihak mereka atas LCS. Hal ini tidak hanya mengancam stabilitas kawasan tetapi juga dapat merusak hubungan antar negara ASEAN, yang memiliki kepentingan nasional yang berbeda-beda dalam sengketa ini.
Sengketa Laut China Selatan
Laut Cina selatan merupakan wilayah yang terletak dibagian tepi samudera pasifik yang terlihat dari selat karimata hingga selat taiwan dengan luas mencapai 3.500.000 km. wilayah laut cina selatan memiliki kekayaan gas alam dan biota laut yang sangat kaya dan beragam. Nama laut cina selatan diberikan karena guna membedakan antara badan air lain di dekatnya, seperti laut cina timur. Dalam perkembangannya wilayah ini selalu mengalami perubahaan nama di masing-masing negara kawasan laut cina selatan.
Perbedaan ini bukan tanpa sebab karena wilayah laut cina selatan menjadi wilayah yang rawan konflik hingga saat ini. Kawasan ini menjadi rebutan klaim antara negara-negara seperti Indonesia, Filipina,  Brunei  Darussalam,  Malaysia,  dan  Vietnam  dan  negara  luar  seperti Tiogkok  dan Amerika  Serikat. Konflik ini muncul karena perebutan kepentingan di kawasan laut cina selatan. Awal dari terjadinnya sengketa adalah saat China membuat sebuah pernyataan klaim wilayah di beberapa kawasan laut cina selatan, China membuat sebuah peta yang disebut dengan nine dash line yang mengambarkan bagaimana laut cina selatan seharusnya menjadi bagian cina karena merupakan warisan dari perdagangan dinasti china di zaman sebelumnnya (Ramli, 2021). Klaim ini disampaikan cina pada 1947 yang menyatakan bahwa Wilayah yang berada dalam lingkup garis tersebut, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel, diklaim sebagai bagian dari teritori China.
Peta ini kembali ditegaskan oleh Partai Komunis saat mulai berkuasa pada tahun 1953. Klaim tersebut didasarkan pada sejarah China kuno, dimulai dari masa Dinasti Han yang berkuasa pada abad ke-2 SM hingga Dinasti Ming dan Qing pada abad ke-13 SM (Ramli, 2021). Aspek historis serta berbagai temuan digunakan oleh China untuk mendukung klaim kepemilikannya atas Laut China Selatan. Kondisi klaim ini membuat beberapa negara di kawasan laut china selatan marah salah satunnya adalah Vietnam yang melakukan perebutan klaim dengan cina. Konflik singkat pernah terjadi pada yang menghasilkan korban 18 tentara Tiongkok dan 53 tentara Vietnam. Sejak itu, Tiongkok menguasai seluruh Kepulauan Paracel (Bintang Widia, 2024). Selain Vietnam, Filipina juga ikut berkonflik dengan klaim cina atas beberapa titik wilayah laut dikawasan Laut China Selatan. Filipina juga mengklaim sebagian wilayah Laut China Selatan, terutama Kepulauan Spratly yang mereka sebut sebagai Kepulauan Kalayaan, serta beberapa wilayah lain seperti Scarborough Shoal yang terletak di sebelah barat Filipina. Kondisi ini memicu perang singkat china dengan Filipina saat itu. Namun dalam beberapa tahun setelahnya Filipina justru meminta bantuan Amerika serikat dengan mendirikan pelabuhan militer di wilayah Scarborough Shoal akibatnya konflik LCS masih berlangsung hingga saat ini (UTAMI, 2012).
Indonesia juga sempat berkonflik dengan china terkait laut natuna utara dimana wilayah ini diklaim cina sebagai wilayahnya di nine dash line. Beberapa insiden besar terjadi seperti kapal penjaga pantai China menghalangi kapal patroli Indonesia yang sedang menangkap kapal nelayan China hingga kapal-kapal nelayan cina yang melewati zona ekonomi ekslusif (Ramli, 2021). Kondisi sempat menyebabkan ketegangan antara Indonesia dengan China.Konflik yang terjadi dikawasan Laut China selatan adalah masalah besar yang disebabkan oleh dua faktor yakni letak strategis dan sumber daya ekonomi. Dari sudut pandang strategis, perairan Laut China Selatan merupakan salah satu jalur perdagangan penting yang menjadi gerbang utama bagi rute pelayaran internasional dan sebagian besar industri logistik global. Laut ini adalah jalur tercepat yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia, menghubungkan kawasan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika. Menurut CFR Global Conflict Tracker, nilai total perdagangan yang melintasi Laut China Selatan pada tahun 2016 mencapai US$3,37 triliun. Pada 2017, sekitar 40 persen dari total konsumsi gas alam cair dunia melewati kawasan ini (Sugara, 2023). Selain itu, Laut China Selatan memiliki potensi ekonomi yang besar, dengan kekayaan sumber daya hasil laut yang tinggi meskipun sering kali dieksploitasi secara berlebihan. Wilayah ini juga diketahui menyimpan cadangan minyak dan gas yang signifikan, diperkirakan mencapai 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam yang belum dimanfaatkan. Nilai sumber daya alam dan potensi ekonomi yang besar ini diduga menjadi salah satu faktor yang memicu sengketa maritim dan teritorial di kawasan tersebut.
Implikasi Joint Statement Indonesia-China di Kawasan Laut China Selatan Terhadap kepentingan Indonesia dan ASEAN