Warteg di dekat jembatan Pasar Paseban agak riuh. Gegara diskusi seru tanpa tayang di TV Show. Mat Dung yang berprofesi sebagai penjaga parkir pasar vs Pak Six Sik yang merupakan tokoh masyarakat kawasan jembatan. Usai jam makan siang adalah waktu makan bagi Mat Dung, Mbok Darmi, Mak Nyak dan banyak pekerja supporting yang membuat Pasar Paseban hidup.
Warteg adalah salah satu tempat istirahat paling nyaman untuk beberapa orang. Ada juga yang nyaman makan di pecel bakul gendongan. Ada juga yang makan berat (nasi dan lauk). Ada juga yang makan semi berat (mie goreng/mie kuah).
Pasar itu tempat rezeki berputar. Pasar itu tempat orang adu semangat. Pasar itu tempat orang yang tak malu mengais rezeki rupiah halal. Bagi temanku yang ahli neraka, pasar adalah tempat mencari rezeki mengais dompet, telepon pintar, uang orang yang lengah.
Pak Six Sik sedang mengeluh dengan seliweran berita soal resesi. Harga mahal. Barang tidak ada. Susah beli. Ngantri akan menjadi pemandangan sehari-hari. Keluhan lontaran yang dilemparkan di meja warteg awalnya dicueki oleh sebagian besar pengunjung yang sudah saling kenal satu sama lain.
Mat Dung tiba-tiba menangkap lontaran Pak Six Sik. "Kalem saja Pak. Semua sudah ada yang urus. Percaya pada orang-orang yang memimpin negara ini".
Semua mata lalu tertuju kepada Mat Dung. Seperti film kartun yang kompak mencari sumber suara. Mat Dung, abang parkir. SD tak tamat. Semua penghasilan dibawa pulang untuk tiga anak dan satu istrinya yang berprofesi tukang cuci. Jarang makan di Warteg. Makan di Warteg kalau ada yang bayar lebih.
Tahu lontarannya menarik perhatian, Mat Dung langsung lemes. Selemes ketika disuruh ngelemesin bagian tubuh yang tegang. Mat Dung mengkeret. Walau begitu Mat Dung memompa semangat memilih menggelembung daripada mengkeret.
"Enam bulan berturut tidak terjadi pertumbuhan ekonomi alias minus. Banyak pengangguran karena perusahaan manufaktur alias industri tutup. Inflasi tinggi diikuti oleh beberapa barang justru turun. Suku bunga tinggi. Tingkat konsumsi masyarakat rendah sedangkan produksi terus berjalan.Â
Stok meningkat tapi tidak ada yang beli. Secara umum ekonomi makro jalannya seperti siput atau bahkan tidak berjalan sama sekali," kata Mat Dung dengan cepat. Secepat kata ketika Woo Young Woo (tokoh dalam Extraordinary Attorney Woo) kesambet ikan paus.
Suasana Warteg hening. Mereka terpana dengan Mat Dung yang berkata cepat layaknya ahli ekonomi makro ketika sedang talk show di TV. Mat Dung bisa ngomong karena Mat Dung adalah pendengar yang baik. Mat Dung senang ngemper di toko buah Babah Lo. Babah Lo suka dengan siaran TV ekonomi.Â
Paling tidak efek perang Rusia Ukraina, inflasi dan kenaikan harga barang terdengar oleh Mat Dung. Babah Lo juga selalu menyediakan secangkir es teh di cangkir almunium untuk Mat Dung.
Keduanya sahabat lama tanpa kata. Ada yang beli buah banyak, biasanya Mat Dung yang sigap membantu membawakan buah ke kendaraan konsumen. Mat Dung juga yang membawakan buah-buah jualan Babah Lo dari mobil ke toko kalau pasokan buah datang. Keduanya mutualan dalam arti yang sesungguh di dunia bukan mutualan di dunia maya.
Mang Dalwo yang datang ke Warteg dan menjadi saksi keheningan serta mendengar sedikit informasi yang dijelaskan oleh Mat Dung tadi bertepuk tangan. Tepuk tangan itu membuat semua sadar dari keterpanaan pada Mat Dung.
"Tepat sekali, suhu Mat Dung itu Julius Shiskin. Julius buat buku "Signal of Recession of Recovery an Experiment with Monthly Reporting". Tahun 1961 diterbitkan oleh National Bureau of Economic Research. Orang Amerika," kata Mang Dalwo.
Giliran Mang Dalwo jadi pusat perhatian. Hanya Mang Dalwo cuek saja. Julukannya Mang Dalwo bukan tanpa alasan. Dalwo adalah singkatan modal hawo, itu Baso Pelembang. Bahasa Indonesia kira-kira modal hawa alias modal ngomong doang, ngoceh.
Mat Dung selamat dari tatapan pelanggan Warteg. Mang Dalwo yang kini jadi perhatian.
"Nasi tempe goreng 4, mihun".
Pesanan itu cepat diselesaikan oleh Asih, anak buah Mbak Retno pemilik Warteg.
Mang Dalwo pun menyambut piring yang berisi nasi, tempe goreng 4 potong dan tumis mihun. Pesanan langsung disantap tanpa basa basi. Lauk paling enak adalah lapar. Es teh manis pun langsung diseruput.Â
Seger. Otak Mang Dalwo kembali mencari referensi. Mata Mang Dalwo agak sedikit cerah tak lagi  kuyu. Pikiran lancar jaya seperti bus lintas sumatra melintasi jalur tol Sumatra. Lapar dan haus sudah terlampiaskan.
Resesi itu tidak semudah disampaikan melalui mulut yang kering apalagi mulut yang bau. Mengumumkan resesi itu ibarat mengumumkan semua pemangku kepentingan harus mengikat pinggang lebih kencang termasuk juga dengan rakyat yang terdampak. Pemangku kepentingan harus bekerja keras agar resesi dapat diatasi.
Pemangku kepentingan itu pemimpin yang duduk di berbagai level. Mulai dari bupati/walikota (DPRD kabupaten/kota), gubernur (DPRD provinsi), presiden (DPR). Semua harus bersinergi untuk mengatasi resesi. Jangan lupa swasta.
Ketika pengangguran naik. Ada investor yang mau buka pabrik, pabrik tanahnya di kabupaten/kota. Izin pusat lancar jaya, izin provinsi lancar, izin kabupaten/kota tersendat (ini ibarat). Pembukaan tertahan, lapangan kerja tidak terbuka. Di sinilah butuh kolaborasi sebenarnya untuk rakyat yang sesungguhnya. Bukan ancam mengancam apalagi demo mendemo.
Di sinilah nasionalisme sesungguhnya bagi bangsa dan tanah air diuji teruji. Nasionalisme eksekutif, legislatif. Nasionalisme oposisi. Nasionalisme politik. Nasionalisme rakyat itu sendiri.
Walaupun data menunjukkan kemungkin Indonesia untuk terkena resesi hanya tiga persen. Cek 1.  Cek 2. Cek 3. Kolaborasi semua pemangku kepentingan demi nasionalisme adalah segalanya. Kewaspadaan dan respon cepat adalah segalanya.
Resesi itu hantu. Tidak terlihat tapi membuat takut semua makhluk ekonomi.
+++
HP Mang Dalwo bergetar keras di dekat piring. Mang Dalwo pun membayar sepuluh ribu rupiah pada Asih. Mbak Retno ngakak, "itu KKP pasti sudah dekat". Mbak Retno itu temanan dengan Bude yang bantu-bantu di rumah.
Mang Dalwo tersenyum dan berkata, "semoga kita semua sehat dan selalui dilimpahi kebaikan dan rezeki yang baik". "Amiiin".
Berdiri kurang dari sepuluh detik di depan Warteg, mobil mungil pelibas banjir yang selalu diisi Pertamax itu berhenti. Seorang perempuan cantik berkaca mata hitam Ray-Ban duduk dengan anggun di depan setir. Lelaki berambut menggimbal masuk dan duduk disamping.
Perempuan itu menundukkan kepalanya. Ciuman lembut mendarat di kening.
"Printer Sulung dan printer Tengah sudah di belakang kan. Kita ke Mangga Dua ya," kata Mang Dalwo.
"Ia. Ia. Kamu itu kalo urusan Sulung dan Tengah selalu nomor satu," kata KKP bermimik serius.
Mang Dalwo hanya senyum sambil memandangi perempuan yang dicintainya apa adanya. Tangan Mang Dalwo pun mengelus rambut tergerai KKP.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H