Kami pulang jalan kaki melewati Metropole, menembus Jalan Kimia melewati tempat kuliah ibunya. Berkeringat. Sekali, dua kali, keluh capek keluar dari Sulung. Menyebrangi Jembatan Trans Jakarta. Jarang sekali pulang dari stasiun naik bajaj.Â
Ketika mendekati tempat kos, kubisikkan cara membedakan huruf "d" dan "b" (disleksia-nya Sulung). B pegang perutmu. D pegang pantatmu. Lelaki kecil yang sudah bahagia dengan pakaian bekas di Senen itu meminta gendong di punggung. Dukung istilahnya. Hanya lelaki yang bisa ini.
Sulung belajar membaca dengan mengeja huruf mulai dari sendok, piring, kursi, sabun, meja. Paku dan palu. Belajar seriusnya cuma 15 menit setiap hari. Modalnya bukan pokoknya ya, semua hal yang ada di lingkungan. Bersyukur Sulung bisa membaca sebelum masuk taman kanak-kanak.
Kini lelaki yang memiliki tinggi hampir dua meter itu bisa mengerjai bapaknya. Ketika kami membeli printer wifi dan kesulitan menginstal di rumah, lelaki sombong itu menyuruh bapaknya minggir. Jangkrik kurang dalam lima menit dia sudah bisa cetak dari hp-nya dan juga menginstal notebook yang ada di rumah.
Jadi sekali lagi hanya lelaki yang bisa membahagiakan anaknya dengan gaya lelaki. Ketika sudah besar, ibunya yang takut kehilangan anaknya. Emang lelaki itu ya lelaki.
Semoga Kompasianer ataupun pembaca Kompasianer yang kesulitan mengatasi kesulitan bisa memetik pelajaran dari tulisan sederhana ini. Ajari membaca maksimal 15 menit.Â
Ajari mengenal benda dan mengeja serta membaca dari benda sekitar tempat tinggal. Ada begitu banyak kosa kata di rumah, tempat kos atau bedeng. Saat itulah kita akan tahu anak kita mengalami disleksia tertentu atau tidak. Ini cara lelaki. Senyum dong!
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H