Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Renjana

13 Oktober 2021   11:04 Diperbarui: 13 Oktober 2021   11:09 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Daoudi Aissa on unsplash.com

"Kalau jodoh kita akan makan di kebun karet. Ditemani renjana. Pergilah."

Bagiku itu jawaban awal. Panggilan terbang terdengar. Berlarilah masuk ke bandara. Berjalan di landasan. Tubuh ringan seringan ketika pesawat membawaku ke Jakarta.

Dua puluh tahun sudah perjalanan hidup ini. Masih sederhana. Masih kocak. Masih bertumbuh cinta. Masih memperhatikan segala sesuatunya.

Bubur ayam komplit. Kedele goreng lempar ke aku. Emping goreng lempar ke aku. Cakue lempar ke aku. Aku cuma melempar sambal ke dirinya.

Permintaannya kalau "pulang kampung" juga sederhana. Pempek sepeda. Pempek panggang  gerobak. Model gandum kuah mie celor. Pempek panggang setengah matang. Tidak pernah meminta pempek bermerek. Kecuali kalau dia sudah bilang mau pempek merek maka dukungannya adalah tiga atau lima lembaran berwarna merah.

Cinta itu sederhana. Sesederhana ketika menyatakan cinta. Sesederhana melamar perempuan yang dicintai dan mencintai.

Kalau cinta itu sederhana kenapa masih ada yang jomblo? Masih ada yang ribut. Masih ada hubungan beracun. Masih ada kekerasan baik sebelum  maupun sesudah pemberkatan pernikahan atau ijab kabul. Entalah. Itu urusan mereka yang kusut.

Setelah memasuki 10 tahun pernikahan barulah terasa kalau cinta dalam pernikahan adalah sebuah perjuangan tanpa tepi. Cinta yang harus diperjuangkan sebagaimana aku memperjuangkan cinta ketika baru pertama kali jatuh cinta. Cinta yang harus diperjuangkan dirinya sebagaimana dirinya memperjuangkan cinta ketika dulu berkorban demi cinta.

Dua puluh tahun lebih berlalu. Bohong kalau kau tak berbohong. Benci. Rindu. Kangen. Marah. Pasti ada yang terkadang, tak kau lontarkan, panahkan dan semburkan.

***
Hai hujan yang tumbuh dari jentik air.
Terima kasihlah dengan angin.
***
Bawang dan cabai serta rapalan
Lidi menjulang menahan awan
Lidi mengembang menahan air
***
Itu hajatan
Wake up me when september end
***
Berjalan geal geol
Petrichor menyeruak
Semerbak ... tak berujung.
***
Hai angin ...
Sampaikan gelora cintaku
Berselancarlah dalam hatiku
Menerobos Nazare
***
Atas nama cinta dan kreasi
Empat mata terlahir di bumi dari rahimmu
***
Hai angin
Bawalah cintaku
Bawalah rinduku
***
Angin sampaikan cintaku
dengan bisikan
dengan sentuhan
dengan dengusan
***
Untuk perempuan yang suka dengan kesederhaan cinta dan gaya tetapi terkadang liar seliar imajinasinya.

Catatan: tulisan ini terinspirasi dari Puisi "Aku Ingin", Sapardi Djoko Damono

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun