Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Renjana

13 Oktober 2021   11:04 Diperbarui: 13 Oktober 2021   11:09 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang perempuan, seorang istri, seorang ibu, sedang duduk sarapan di pinggir sungai. Paling penting perempuan ini belum mandi. Makan bubur ayam.

Cuek karena dari dulu sekali ketika bertemu dengannya dirinya cuek. Secuek ketika dia memperkenalkanku pada atasannya kalau aku, orang yang baru dikenalnya di Jalan Lintas Sumatra.

Perempuan itu sederhana. Sesederhana ketika aku menyukainya. Sesederhana ketika dia bertaruh dengan dirinya sendiri di Bandara Talang Betutu. Satu jam lagi setelah lelaki itu mendarat di Jakarta lelaki itu pasti dipastikan akan menelponnya.

Aku memang menelponnya. Aku belum berani menyatakan cintaku padanya. Aku takut karena kemungkinan sangat besar perempuan itu sudah memiliki kekasih. Aku akan tergelak kalau perempuan itu belum punya kekasih.

Angin sampaikan deru rinduku pada perempuan yang memiliki rambut ikal dan tubuh semampai. Angin pembawa air, jadilah hujan untuk daerah pesisir. Menyirami rindu cintaku.

Gejolak bergelombang membawa angin kering yang membakar sebagian gambut. Aku rindu dengan gajah yang ternyata bisa berenang menyeberangi kanal. Woi ngimpi Venisia. Itu parit buatan dikenal kalau di dusun ya parit 1, 2, 3, dan seterusnya walau lebarnya tiga sampai empat meter.

Tugas mempertemukan kembali. Kali ini ada dua dokter. Satu dari Singapura dan satunya dari dusun. Sama-sama memiliki skill dan endurance di lapangan yang mumpuni. Satu berambut ikal panjang. Satu berambut pendek. Sama-sama suka memakai kacamata gelap Ray-Ban. Satu murni di lapangan yang panas mengantisipasi celaka, tim yang berjuang memadamkan gambut.
Satunya lagi mendapat tugas tambahan mengukur polusi udara sekitar. 

Aku sudah memilih. Jiwaku sudah bergetar. Jantungku saking cepatnya terkadang membuat tekanan darah hampir meledak. Hatiku sudah tertambat ke rambut ikal.

Gambut padam tetapi cintaku seakan tak terbendung. Kali ini ketika pamit terbang kusampaikan getaran bisikan di balkon pengantar Talang Betutu.

"Aku mencintaimu". Suaraku bergetar. Kalah dengan suara Merpati yang bersiap terbang.

Perempuan berambut ikal itu cuma tersenyum. "Sampai berapa lama kau akan mencintaiku. Tiga bulan. Tiga tahun atau tiga puluh tahun".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun