Daerah-daerah tujuan mudik sedang menghitung waktu ledakan Covid 19. Dokter dan perawat pun sedang menunggu harap-harap cemas. Para eksekutif di daerah tujuan mudik yang abai, bakal menghadapi bencana kesehatan.
Paragraf pertama bombastis. Tidak juga. Seperti tulisan ramalan mamang petani (1, 2) yang mengingatkan awal Juni dan pertengahan Juni akan terjadi ledakan Covid 19 di daerah-daerah tujuan mudik. Sudah terjadi. Judul headline Kompas (7/6/2021) jelas "Kasus Covid 19 Melonjak di Provinsi Tujuan Mudik".
Virus adalah musuh tak berwujud. Diabaikan. Alasan pengabaian beraneka ragam mulai dari soal adat budaya sampai membawa-bawa kesakralan. Musuh yang tak berwujud ini bisa menempel di mana saja.
Jika sudah masuk ke rongga-rongga tubuh maka berkembang biaklah. Ada yang langsung meledak merusak pernafasan. Membuat orang kesakitan ketika bernafas. Pernah lihat film mafia yang membunuh lawannya dengan cara kepala dibungkus plastik sampai kehabisan nafas. Nah, kira-kira seperti itu adanya.
Musuh tak berwujud yang susah dilihat dengan mata telanjang, apalagi yang suka lihat yang telanjang dan menelanjangi memang "ajaib". Penyakit-penyakit yang sudah ada dalam tubuh bangkit. Kalau ada pernyataan "semua dicovidkan". Anda benar. Tidak salah lagi.
Bagaimana mungkin seorang yang berpendidikan tinggi setingkat S3 divonis Covid 19 dengan tes swab antigen, swab PCR dan magnetic resonance imaging (MRI) dada tidak melakukan perlawanan, menolak vonis? Padahal dia masuk bermaksud berobat diabetes.
Berjuang selama hampir sebulan di rumah sakit dan kemudian diperbolehkan pulang setelah tiga kali negatif PCR dengan vonis baru, diabetes. Kocaknya sepulang dari rumah sakit harus rajin suntik insulin ke tubuhnya. Marah. Boleh. Semua dicovidkan juga boleh.
Faktanya gula darahnya tinggi, cek sendiri dengan alat yang dibeli sendiri. Apakah itu konsipirasi atau apalah? Silahkan jawab sendiri.
Kasus tersebut adalah fakta yang terjadi. Ndak perlu pake bahasa ilmiah yang njlimet. Walau rujukan-rujukan jurnal ilmiah atas fakta-fakta baru dari musuh tak berwujud ini tetap perlu dibaca dan dijadikan rujukan untuk pengobatan dan pencegahan.
Bukan berdasarkan gosip nyata maupun maya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kalaupun masih ngeyel emang sudah nasib dari para penegak aturan pencegahan agar tidak menyebarkan ke orang lain dengan menegakkan aturan. Itu tugas Satgas Covid. Lidah bakal keseleo mbaco paragraf ini.
Novelti itu nomor satu. Kebaruan. Update bahasa gaulnya. Makhluk tak berwujud ini bisa bermutasi membuat varian baru. Pernah lihat Arnold Schwarzenegger dalam film The Terminator, Terminator Judgement Day, Terminator Rise of The Machines,  Terminator Genisys, dan terakhir (mungkin)  Terminator Dark Fate itulah kira-kira makhluk bernama Covid 19 yang dapat bermutasi membuat varian baru.
Di Indonesia Covid 19 Varian Delta sudah masuk ke DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah dan Sumatra Selatan. Â Varian ini lebih menular. WHO memasukkan Varian Delta dalam daftar yang perlu mendapat perhatian, diwaspadai (3). Dalam bahasa tulis agar kata itu mendapat perhatian maka digaris bawahi (kalau dulu) dan sekarang dicetak lebih gelap, dimiringkan.
Pertanyaan menggelitik mengapa orang banyak abai? Pasca lebaran, orang banyak menggelar kawinan. Akhir Mei dan awal Juni ini ada lima undangan untuk penulis. Di depan pintu masuk  gedung sudah jelas ada poster lumaya besar agar menerapakan protokol kesehatan. Fakta di dalam gedung, ada yang berpelukan, cipika cipiki. Ada yang membuka masker padahal tidak sedang makan. Bahkan ketika mau pulang dan ingin salaman dengan pengantin berbaris tak berjarak.
Orang kalau masuk kerumun menjadi terikut dalam praktik kerumunan. Mereka yang tadinya waras menegakkan protokol jadi ikut abai karena ikut berani abai. Awareness yang menegakkan protokol kesehatan menjadi hilang.
Seorang dokter senior suatu waktu pernah kutanya mengapa orang abai dan menolak protokol kesehatan? Jawabnya belum melihat orang kesakitan ketika bernafas dan akhirnya mati. Belum melihat tubuh mengejang dan kemudian menjadi dingin tak bernafas.
Boleh jadi mereka yang abai adalah orang-orang yang tak berdaya secara psikologi menghadapi kenyataan kalau makhluk tak berwujud itu memang ada. Makhluk itu tidak hanya merusak tubuh manusia yang dijadikan inang, tempat bersarang, berkembang biak tetapi juga merusak sosial ekonomi bahkan etika politik.
Video mengenai orang-orang yang menyatakan Covid 19 itu ada dan kemudian meninggal bertebaran di dunia maya. Pesan mereka yang terkena dampak efek covid 19 masih diabaikan oleh banyak orang.
Sekali lagi semua sudah terjadi. Makhluk tak terlihat sudah menempel dan bersarang di tubuh-tubuh baik yang terlihat sehat maupun yang sekarang sedang berjuang untuk sehat ataupun berusaha untuk melewati batas kritis menuju kematian.
Bom waktu Covid 19 sudah meledak di Kudus walau masih dapat dikendalikan tetapi daerah-daerah lain lonjakan kasusnya juga meningkat tajam. Ledakannya akan bergerak dari satu kota ke kota lainnya. Â Sama ketika para pembawa makhluk tak berwujud itu bermigrasi dari satu tempat ke tempat lainnya.
Maaf aku belum mau menghadapi kematian. Aku tegakkan protokol kesehatan untuk diri sendiri tetapi kalau memang sudah waktunya menghadapi kematian maka akan aku sambut dengan suka cita.
Mohon maaf kalau tulisan ini meledak-ledak. Tidak ada maksud untuk lebay tetapi hanya untuk mengingatkan kalau bahaya Covid 19 yang tak berwujud itu nyata adanya dan korbannya juga sudah banyak. Bahkan korbannya sendiri sudah mengingatkan kalau Covid 19 nyata.
Apakah aku, kamu dan kamu memang makhluk yang tak pernah belajar dari kejadian yang sudah nyata? Hanya aku, kamu dan kamu yang bisa menjawabnya dalam praktek kehidupan sehari-hari di masa Pandemi Covid 19 ini.
Salam Kompal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H