Kemungkinan untuk terjadinya Tsunami Covid 19 di Indonesia cukup besar pasca lebaran 2021. Kalaupun tidak terjadi Tsunami tetapi kenaikannya signifikan. Kondisi ini bisa jadi sangat buruk dibandingkan awal-awal Indonesia terkena gelombang pertama penularan Covid 19.
Buruk atau lebih buruk kalau seluruh pemangku kepentingan mulai dari presiden, mendagri, gubernur, bupati, walikota tidak memobilisasi kekuasaan yang dimilikinya untuk mengantisipasi meledaknya penyebaran penularan dan perawatan Covid 19. Mereka tampuk tertinggi pemangku kekuasaan di wilayah masing-masing.
Menteri Kesehatan, Satgas Covid 19, Dinas Kesehatan provinsi/kota/kabupaten sudah harus memetakan stok dan distribusi obat-obatan, tenaga kesehatan, oksigen, ventilator, serta mobil ambulans, terakhir ruang perawatannya. Nomor darurat di setiap daerah harus aktif dan ada juga pendamping di bawah untuk memudahkan koordinasi jika ada penderita yang memang harus segera dirawat.
Jangan sampai kasus Covid 19 pada awal-awal masuk ke Indonesia tahun 2020 Â terulang. Jangan sampai kekurangan masker akibatnya harga melonjak tak terkendali. Demikian pula dengan baju APD dan perlengkapan pendukung seperti sarung tangan, kacamata, pelindung muka serta sepatu. Jangan sampai orang-orang kesehatan gelagapan sampai cukup banyak dari orang-orang kesehatan mulai dari dokter, perawat meninggal karena merawat pasien Covid 19. Jangan ulangi kesalahan dua kali.
Lalu apa indikator Indonesia harus bersiap untuk gelombang kedua penularan Covid 19? Setidaknya ada lima indikator yang dapat dijadikan patokan. Pertama, kerumunan di Pasar Tanah Abang menjelang lebaran. Pembelinya jelas bukan hanya dari Jakarta tapi juga warga sekitar Bodetabek. Sebenarnya bukan hanya Tanah Abang Jakarta, tetapi di daerah lain juga warga berjubel di pasar dan di mall.
Kedua, meningkatnya arus mudik dari daerah pusat ekonomi dan industri Jabodetabek. Padahal larangan mudik sudah didengungkan melalui seluruh platform media. Mirisnya dari 6000 lebih pemudik yang dites antigen Covid 19, sebanyak 4000-an positif Covid 19. Ini sudah lampu kuning bagi daerah. Pertanyaan mendasarnya lalu bagaimana dengan pemudik yang tidak terjaring secara acak tes antigen? Bagaimana pemudik di rumahnya apakah mengikuti protokol kesehatan dan melakukan karantina terlebih dulu?
Ketiga, selama libur lebaran ada yang membuka tempat wisata. Puluhan ribu warga memadati Ancol. Padahal sudah pakai filter KTP DKI. Begitupun di Karawang, banyak warga memadati tempat wisata dengan filter KTP Karawang. Daerah lain juga ada yang membuka objek wisatanya. Kerumunan-kerumunan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk penularan Covid 19.
Keempat, arus balik mudik. Bukan tak mungkin tular bertular Covid 19 bagi warga yang super spreader akan terjadi di arus balik.
Kelima, Virus Covid 19 Varian India B.1.617 sudah masuk ke Indonesia. Virus mutasi ganda ini lebih cepat menular. Â Nah, kalau sudah cepat menular artinya penderitanya akan semakin banyak.
Para pemangku kepentingan sepertinya sudah membaca kondisi ini (1). Masa inkubasi virus bervariasi tergantung dengan imunitas tubuh, rata-rata seminggu sampai 14 hari. Jadi lebih baik bersiap pada situasi terburuk daripada lengah dan korban berjatuhan.
Tik, tok, tik, tok waktu terus berjalan. Waktu tidak bisa dihentikan. Virus Covid 19 droplet menyasar siapa, tidak ada yang tahu sebelum dites swab antigen atau swab PCR. Semua sudah terjadi dan tak perlu saling menyalahkan apalagi sampai membuat perbandingan TKA dan mudik. Sudahlah itu kasus yang berbeda.