Jebol sekat pengamanan mudik 2021. "Luar biasa". Begitulah dua kata yang terlontar dari seorang dokter spesialis ketika sedang menikmati kudapan malam sambil membaca media online.
Bersiaplah untuk kemungkinan terburuk Tsunami Covid 19. Jangan saling menyalahkan. Jangan menyalahkan pemerintah. Jangan menyalahkan polisi, TNI dan Satpo PP yang sudah berpeluh menjaga sekat dan harus sabar tingkat dewa. Jangan menyalahkan provokator dan social justice warrior mudik. Jangan pula menyalahkan pemudik.
Inilah demokrasi. Walau demokrasi tentunya jangan menjadi provokator untuk tidak memakai masker, tidak menjaga jarak, tidak cuci tangan. Apalagi sampai dengan bangga memamerkan diri sambil menggendong anak tidak bermasker dan menyebut orang bermasker sebagai orang t****. Ini jelas bukan demokrasi. Ini mau menangnya sendiri. Negara demokrasi juga punya rule of law yang harus ditegakkan.
Andai. Seandainya demokrasi pemudik menjadi hak untuk ditegakkan sebenarnya tidak masalah. Akan tetapi, hak itu untuk dinikmati oleh pemudik sendiri. Menjadi tidak demokratis bahkan melanggar hak orang lain ketika pemudik ternyata merengut kesehatan atau nyawa orang tua, suami/istri, anak bahkan orang lain dengan penularan Covid 19.
Miris teriris hati kalau sampai mereka tertular Covid 19. Dirawat dan ternyata meninggal dunia. Tragis. Maksud hati ingin bahagia kumpul keluarga malah duka nestapa mendera.
Mari bersiap menikmati varian baru Covid 19 B.1.617 dari India yang cepat sekali penyebarannya alias menularnya. Varian ini sudah ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Mari menikmati super spreader. Mari menikmati orang tanpa gejala.
Para pemudik sudah tahu resikonya. Orang tua, suami atau istri serta sanak yang dituju untuk mudik juga sudah tahu resiko pemudik. Anak balita jelas tidak tahu. Bagi mereka tahunya ayah atau ibu pulang untuk lebaran. Kalau anak remaja atau yang sudah kuliahan tidak tahu larangan mudik, kebangetan.
Adakah pemudik gentar atau terketuk nuraninya karena ada sekitar 4000 an sesama pemudik yang positif Covid 19. Mereka merupakan sampel acak dari 6000 lebih pemudik. Entahlah. Adakah keluarga pemudik yang didatangi melapor ke RT/RW/Kadus/Kades setempat agar mereka dikarantina atau karantina mandiri. Entahlah.
Data 4000-an pemudik positif dari sampel acak 6000 lebih berasal dari Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Airlangga Hartarto. Pengumpulan sampel dilakukan oleh kepolisian terhadap masyarakat yang mudik selama masa larangan mudik (1).
Jumlah kasus Covid 19 di Indonesia per 12 Mei mencapai 1.728.204. Dalam 24 jam terakhir terdapat penambahan 4.608 positif Covid 19. Ada 95.709 kasus aktif Covid 19 yang sedang menjalani perawatan (2).
Angka ini pasti ada yang meragukan. Ragu tidak percaya dengan Covid 19 dan ada yang ragu kalau datanya sebenarnya lebih banyak lagi. Bagi yang tidak percaya Covid 19 atau menyangkal adanya Covid, ya sudahlah. Mau diapakan lagi. Bukti di depan mata baik melalui pemberitaan di Indonesia maupun di luar negeri berseliweran melalui media online ataupun media sosial.
Bagi yang ragu soal angka sebenarnya wajar karena sudah pasti tidak semua jujur kalau diri terkena Covid 19 padahal ciri dan gejala kesehatannya yang terganggu sesuai dengan Covid 19. Akibatnya seperti bola salju tak terbendung menggelinding semakin besar. Walau bagaimanapun data yang dikeluarkan ataupun data yang diikuti adalah data yang dikeluarkan oleh lembaga resmi kecuali kalau ada lembaga lain non partisan yang memang mengumpulkan data dengan bukti yang jelas.
Data Satgas Covid 19 saat ini yang dipakai. Dan, pertanggal 13 Mei (24 jam terakhir) ada penambahan kasus 3.448 positif Covid 19. Total jumlah penderita 1.731.652 (3).
Bagi yang mengerti, memahami dan waspada terhadap bahaya penularan Covid 19 dan penderitaannya di ruang perawatan isolasi, angka-angka itu memiliki makna untuk jujur pada diri sendiri dan menjaga agar tidak tertular dan menulari. Inilah demokrasi yang sesungguhnya. Covidmu bukan untuk orang terkasih apalagi untuk orang lain. Covidmu untuk dirimu sendiri bukan untukku.
Jebolnya sekat pemudik dan penggunaan jalan tikus untuk mudik. Berseliweran di media sosial. Ada konsekuensi kemungkinan ledakan Covid 19 bukan ledakan petasan yang juga sama-sama ada korban jiwa. Sama-sama bisa merengut nyawa. Covid 19 selain merengut nyawa juga bisa menulari orang terdekat atau yang mendekat atau yang didekati. Petasan hanya merengut nyawa pelaku penyulutnya atau yang sama-sama ingin main petasan.
Lebih baik jebol daripada chaos jalanan. Lebih baik memberi penjelasan dan mensosialisasi bahaya Covid 19 daripada tidak sama sekali. Apapun sudah kejadian. Bahasanya, sudah tidak bisa mundur lagi.
Inilah demokrasi. Ini bukan tangan besi. Bagi provokator mudik dan social justice warrior, yang sering membuat pertanyaan membandingkan "TKA boleh masuk? Mudik tidak boleh" dibuat asik sik asik saja ketika seandainya kasus positif Covid 19 melonjak tinggi di daerah-daerah.Â
TKA boleh masuk sudah mengikuti prosedur kesehatan. Dikarantina membawa hasil negatif tes PCR tiga hari sebelumnya, kemudian dilakukan tes PCR lagi di Indonesia lebih jelasnya lihat link ini.
Bagi pemudik yang lolos sebenarnya lebih baik lapor ke pemerintahan tempat tinggal, lakukan karantina mandiri, di beberapa daerah bahkan menyediakan tempat karantina sebelum bisa kumpul dengan keluarga dan sanak saudara.
Peran aktif keluarga pemudik sebenarnya juga memiliki peran yang besar untuk mengantisipasi penularan Covid 19. Lebih baik disiplin sedikit tega daripada tertular menulari keluarga lainnya. Kejadian di Banyumas ini bisa menjadi inspirasi ketika istri melaporkan ke perangkat desa kalau suaminya baru pulang mudik dan dikarantina.
Sebelum mengakhiri tulisan ini. Lebih baik menikmati kudapan malam. Di alam demokrasi itu bebas memilih. Hak orang lain untuk sehat dan tidak tertular. Hak orang lain juga untuk menikmati Covid 19. Kalau sudah menulari orang lain itu namanya sudah bukan demokrasi karena menghilangkan hak orang lain untuk sehat. Itu namanya ngajak kelebu, karam bersama. Ini baru namanya menzalimi orang lain.
Ups, pagi lebaran kedua mendapat kabar dari Salatiga (5), kalau rumah sakit untuk ruang isolasi sudah penuh. Sarapan pagi menjadi agak kurang bisa dinikmati. Kepala Dinas Kesehatan Salatiga, Siti Zuraida mengabarkan kalau ruang isolasi Covid 19 sudah penuh, padahal kasus Covid 19 juga meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Walikota Salatiga, Yuliyanto juga mengungkapkan kalau mereka harus sudah bersiap dengan bertambahnya kasus untuk dua minggu setelah lebaran.Â
Mohon Maaf Lahir Batin
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H