Sebanyak 100 pesanan kamar di Pagar Alam di batalkan di kawasan kaki Gunung Dempo. Ada 14 kamar minggu lalu di kota juga dibatalkan. Itu yang terkonfirmasi. Belum lagi para pelaku usaha yang biasa berjualan di kawasan tangga 2001 mengaku pasrah. Mereka biasanya Sabtu dan Minggu mendapat untung yang cukup besar dibandingkan hari biasa.
Mereka kini bingung sebingungnya menghadapi tahun baru yang semestinya mendapat untung mulai dari penjual makanan, mamang ojek, eh di Pagar Alam juga sudah ada ojek online loh, pemilik penginapan, warung makan, hingga ke angkutan perdesaan. Semua mendapat rezekinya sesuai dengan ukuran rezekinya.
Awal Desember lalu, ada tamu dari seluruh kabupaten kota di Sumatra Selatan. Mereka adalah pemangku kepentingan perencanaan. Bahkan ada juga tamu dari Jakarta dalam rombongan ini.
Beberapa bahkan adalah teman lama. Ketika diajak untuk ke atas (Tugu Rimau dan perkebunan teh di tikungan cinta) mereka menolak secara halus. Mereka biasanya akan menjelajah Pagar Alam dan menginap tiga malam dua hari, ini hanya menginap dua hari satu malam.
Musibah ini sebenarnya sudah harus diperhitungkan oleh para pemangku kepentingan alias pemilik garuda di dada. Â Loh ia toh, Â karena mereka punya kuasa. Musibah ini juga sebenarnya harus sudah diketahui oleh para wakil rakyat yang duduk di Kompleks Gunung Gare.
Lalu akan menyalahkan si rimau yang pernah menjadi Maskot PON 2004 yang kini masih berdiri tegak walau kusam di Tugu Rimau.  Please deh.
Kemunculannya meresahkan masyarakat. Bahkan ada yang menyebutnya si rimau adalah peneror masyarakat. Mereka hanyalah petani yang mencari makan. Lalu kalau cari makan boleh merusak hutan lindung dan hutan adat gitu. Lalu boleh merusak dunia perhewanan yang menjadi rantai makanan si rimau.
Ekonomi Pagar Alam sebenarnya menjual keindahan dan kearifan masyarakatnya. Titik. Kalau hutan lindung dan hutan adat rusak apakah indah? Kalau bukit gundul apakah indah? Kalau sungai tak berair apakah indah? Ekonomi Pagar Alam akan hancur kalau semua itu hancur.
Kalau si rimau punah maka akan tinggal tugunya saja di ketinggian 1.900 mdpl. Dikira selesai, justru kehancuran dimulai. Rantai makanan berubah. Itu lebih serem lagi.
Sederhana, mestinya sudah tahu  nih.  Kota ini tidak ada minyak, gas atau sumber daya alam yang bisa cepat menghasilkan  duit  alias PAD bagi pemerintahannya, DPRD dan rakyat.
Sumber dayanya adalah keindahan alamnya. Sadarlah. Keindahan itulah yang dijual. Boleh juga kalau ada yang menyebut Pagar Alam adalah potongan surga di serpihan dunia.
Banyaknya orang datang tentu butuh makan, penginapan, dan juga hiburan. Bukan diskotik ataupun bar ataupun panti pijat apalagi karaoke plus pemandunya. Boleh ada cuma jangan banyak-banyak. Wak wak wak.
Terus terang kearifan orang Pagar Alam itu sebenarnya sungguh patut ditiru. Mereka pantang menyerah. Bersyukurlah kalau diri ditawari kopi oleh tuan rumah. Minta jangan pakai gula, karena kopi pahit di Pagar Alam akan manis dengan sendirinya di lidah. Percayalah!
Mereka kreatif membangun tempat-tempat wisata. Nikmatilah.  Eh,  mereka tidak dibantu oleh pemerintah  loh.  Dananya dari mereka, disainnya juga dari mereka.
So  kalau ada yang mau liburan santuy bolehlah ke Pagar Alam. Bisa naik travel, ataupun naik pesawat. Tujuan wisata banyak. Silahkan ditelisik dulu di dunia maya.
Aman  bro.  Si rimau hanya berkeliaran di hutan lindung. Si rimau juga sebenarnya takut pada manusia. Kalem dan ikuti kearifan lokal di lokasi wisata di kebun teh dan Tugu Rimau di Gunung Dempo.
Kalau bertemu dengan si rimau apa nggak beruntung itu. Ini baru liburan santuy  namanya dan tetap pilih aman ya. Jangan sombong apalagi jumawa. Semua ada tata kramanya.
Salam dari puncak Bukit Barisan Sumatra
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H