Di pinggiran bukit, seorang kakek diperingatkan warga yang kebetulan tokoh masyarakat agar tidak lagi ke kebun di bukit karena si rimau sedang berkeliaran.Â
Sang kakek pun berujar, "aku tidak merusak rumahnya. Aku pernah bertemu beberapa hari lalu. Kaki ini berat sudah tak bisa lari. Aku cuma bilang aku numpang lewat dan tidak mengganggu rumah dan makananmu. Kami sama-sama minggir".
Pertanyaan mendasar mengapa puluhan tahun pekerja kebun teh tidak ada yang tewas diserang si rimau? Mereka sering melihat si rimau turun dan melewati perkebunan teh. Bahkan minum di tempat penampungan air.
Si rimau adalah makhluk yang pintar. Memiliki ingatan hasil penciumannya yang tajam.
Si rimau sebenarnya takut dengan manusia. Mereka tidak pernah mengganggu manusia. Mereka tidak pernah membuka jalan baru. Mereka justru mengikuti jalur yang sudah ada untuk menjelajah wilayahnya. Makanan dan teritorialnya adalah kisah klasik si rimau lawan manusia.
Dingin menyergap. Beberapa petugas KSDA ngobrol dengan kami di Puncak Bukit Barisan Sumatra. "Kita perlu jujur. Jujur sejujurnya seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat.Â
Mengapa? Karena alam itu sebenarnya teratur. Kalau sudah diintervensi manusia maka keteraturan itu menjadi rusak. Mengapa kita tidak berdampingan hidup dengan alam?".
Jeritan si rimau terus menggema di Bukit Barisan Sumatra. Mengapa? Bahkan korban terus berjatuhan. Apakah kita sudah lupa dengan kearifan yang dicontohkan oleh nenek moyang kita? Entahlah. Kepalaku terus bergema dengan jeritan si rimau.
Salam dari punggung Bukit Barisan Sumatra
Salam Kompal