Pojokan rumah makan itu menjadi saksi ketika seorang perempuan membalik rindu menjadi pukulan yang memabukkan. Lelaki dan perempuan memilih duduk di pojokan rumah makan yang sudah sangat tua. Bahkan kabarnya ada yang sudah tiga generasi yang suka makan di rumah makan yang letaknya tepat di tikungan di jalan yang memiliki arti menyayangi.
Perempuan yang menghadap meja kami memiliki leher jenjang. Rambut hitamnya digelung. Sepatu kets dan celana jeansnya cocok. Kaos warna hitamnya membuat kontras dengan kulitnya yang putih.
Temanku selalu melirik ke arah perempuan yang duduk berhadapan dengan seorang lelaki metropolis. Ada tas tangan. Rambut pendek mengkilat. Celana ketat melekat. Baju batik  print  kekinian.
Lelaki di depan perempuan yang menjadi pusat perhatian kami menyatakan kerinduannya. Si perempuan kalem dan menikmati mie ayamnya.
"Aku memendam rindu padamu,"kata si lelaki. Si perempuan tetap kalem walau mukanya sudah memerah. "Kamu bekerja sambil menikmati liburan di luar. Aku terus terang rindu padamu"tambah si lelaki.
Kami berdua menunggu jawaban si perempuan. Kami berdua pun bertaruh menunggu jawaban.
"Kau kira aku tidak rindu padamu. Jangan menganggap hanya dirimu dan jiwamu saja rindu. Akupun rindu padamu. Diri dan jiwa ini rindu padamu,"kata si perempuan dengan memuka memerah.
Done. Â Si lelaki itu meminta amplop pada teman perempuannya. Amplop hasil kerja dua jam sebagai pembicara seminar di home town berpindah tangan. Lumayan.
Rindu itu universal. Rindu itu berat bukan rindu berat. Kalau tidak bisa memanajemen rindu lebih baik tak punya rindu. Jangan rindu! Nanti kau tak kuat. Biar aku saja yang rindu dan ditampar rindu.
Salam rindu
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H