Sedikit basa basi mamang permisi pulang. Ponakan tercengang dengan kiriman sepeda. Walau sempat protes tetapi mamang bersikukuh untuk memberikan sepeda lipat.
"Cari di internet, berapo rego sepeda ini? Hargonya samo dengan motor bekas".
"Kalo kau jual sepeda ini. Aku dak ka galak lagi bantu kau. Kalo kau minta dengan keluarga lain jugo untuk beli motor, maafkelah mamang dak biso bantu kau lagi. Inget ye".
"Malu kuliah pake sepeda? Hitung-hitung sekalian olah raga. Jangan lupo. Kito ni jeme dusun terkenal dengan kerjo keras. Paham!".
Mamang pun pamit pulang. Balik ke dusun dengan ngeteng. Di Damri di atas kapal penyeberangan, mamang ngirim pesan ke keluarga besar kalau sudah membelikan ponakan sepeda sebagai alat transport alternatif. Semua setuju. Ada yang kirim emoticon bermacam-macam sebagai tanda setuju. Ada juga yang cuma kirim tulisan sip.
Keponakan apa nggak tahu kalau dulu mamangnya waktu kuliah lebih sering jalan kaki daripada naik angkot. Bahkan lebih sering puasa karena kiriman telat datang.
Ponakan apa nggak ngerti apa, kalau kuliah itu masa prihatin. Masa berjuang untuk diri sendiri dan identitas diri.
Ponakan malam itu cuma bisa meringis. Maksud hati pengen untung dapet motor lagi karena aturan ganjil genap, malah dikirimi sepeda lipat. Mau ngambek takut dosa. Bisanya sedih dan menangis serta menyesal dalam hati. Merutuki rencana jahat.
"Kau harus bantu Gubernur DKI, kuliah naik sepeda. Agar tidak menambahi polusi," WA masuk di HP ponakan.
"Ia Mang," balas ponakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H